Indonesia familiar dengan sebuah pengabdian. Jika kita tarik sejarah, sejak zaman penjajahan dan zaman kerajaan-kerajaan, nenek moyang sudah terbiasa mengabdi pada sesuatu atau seseorang. Memang, pengabdian adalah sebuah hal yang indah. Kondisi dimana seseorang berkomitmen untuk mencurahkan segalanya pada orang atau hal yang lain adalah hal yang mulia. Berangkat dari situ, si pengabdi tentu berkeinginan bahwa pengabdiannya akan membawa kebaikan bagi si pengabdi maupun yang diabdikan.
Dikutip dari program TheCEO, Kumparan, Suprajarto, Mantan Dirut Bank BRI berkata bahwa salah satu tujuannya dalam bekerja adalah memberikan pengabdian yang menghasilkan. "Ya mengabdi, tapi ya harus ada hasilnya," ujar Suprajarto.
Dari kutipan ini bisa disimpulkan bahwa sebuah pengabdian haruslah menguntungkan dua belah pihak. Si pengabdi dan yang di abdi sama-sama sejahtera. Pertanyaannya adalah, "apakah setiap pengabdian akan sudah tentu berbuah manis bagi si pengabdi dan yang diabdikan?" Pada kenyataannya tidak demikian.
Mayoritas penduduk Indonesia masih terkungkung dalam pengabdian yang tak menghasilkan. Ada pula yang hanya manis bagi si pengabdi dan ada yang hanya manis bagi yang di abdi. Contoh dua sisi pekerjaan yang berbanding terbalik, adalah perbedaan kerja seorang ASN dan menjadi seorang guru honorer. Kedua pekerjaan ini sama-sama mengusung tema pengabdian. Namun, mayoritas yang terjadi adalah hanya satu pihak saja yang diuntungkan.
Pada satu sisi menjadi seorang ASN adalah salah satu pekerjaan yang menguntungkan bagi mayoritas pengabdi. Bagaimana tidak? Dengan kinerja yang "seadanya," seorang ASN bisa mendapat banyak keuntungan. Pertama, gaji yang fantastis. Bagi para ASN ibukota, gaji pokok yang kecil tak menjadi masalah karena tujangan yang WOW. Kedua, status calon menantu idaman yang otomatis tersemat. Dengan status ASN, calon mertua tak perlu lagi ragu dengan masa depan anak-anaknya. Ketiga, kehidupan dan pensiun yang terjamin. Masa depan dan hari tua ASN dijamin aman karena oleh negara.
Keuntungan-keuntungan inilah yang membuat anak zaman sekarang masih saja terkena demam PNS. Hanya berbekal keinginan yang menggebu-gebu, para anak kemarin sore berbondong-bondong mengikuti tes CPNS tanpa tahu kualifikasi diri, dan kebutuhan lowongan. Alhasil, banyak calon gagal dan menjadi pengganguran. Mereka hanya bergantung pada satu hal "pokoknya harus PNS."
Padahal, menjadi seorang ASN bukanlah sebercanda itu. Ada aspek pengabdian yang perlu diterapkan pada setiap ASN. Keinginan untuk benar-benar mengabdi dan melayani masyarakat. Pengabdian yang hanya memikirkan diri sendiri bukanlah sebuah Pengabdian. Namun, rasa pengabdian pada rakyat ini seakan kabur ditelan keinginan gaji besar dan hidup nyaman.
Menyoal gaji, negara kerap kali memberi guru honorer upah "seadanya" dan bahkan bisa dibilang tak layak. Memang, gaji tenaga honorer ini masih berasal dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) pemerintah pusat atau daerah. Apabila negara mengijinkan adanya tenaga honorer seharusnya gaji bisa berasal dari APBN negara atau daerah. Sehingga ada kejelasan struktur tentang upah guru honorer dan tak sekadar melepas pada kekuatan dana BOS setiap sekolah. Pengabdian guru honorer tersebut harus dihargai lebih dari apa yang ada sekarang.
Selain upah, para guru honorer juga kerap hanya menerima harapan, seperti "diutamakan" menjadi seorang ASN. Apakah berharap pada sesuatu adalah hal yang salah? Tentu tidak. Namun, ketika harapan tersebut tak kunjung berbuah, apa gunanya? Jika terus seperti ini, guru honorer seakan hanya dimanfaatkan oleh negara.
Sekali lagi, pengabdian menjadi seorang ASN atau guru honorer tidaklah salah. Mereka yang mengabdi harus bertanya pada dirinya sendiri. Apakah pengabdian ini sudah benar-benar menguntungkan bagi dua belah pihak? Jika tidak, si pengabdi dan yang diabdi harus berkompromi untuk menemukan solusi. Agar tercapai kesejahteraan dan tak hanya demam yang berat di satu sisi.