Mohon tunggu...
Etis Nehe
Etis Nehe Mohon Tunggu... -

Memperhatikan, Merasakan, Memikirkan, Merenungkan, Menuliskan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teror/is/Me

16 Januari 2016   13:12 Diperbarui: 10 Mei 2018   23:33 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari lalu, kira-kira awal pekan ini, anak saya Samuel yang masih duduk di kelas 1 SD bertanya, "Papi, apa sih teror itu?" Pertanyaan itu mengejutkan saya. Anak sekecil itu ternyata sudah berkenalan dengan kosa kata “teror”.

Dua hal langsung aktif di benak saya. Pertama, ini pasti efek karena terpapar atau curi dengar ketika saya menonton berita kejadian terorisme di televisi, yang secara rutin saya lakukan. Kedua, itu mungkin sekadar ingin tahu dan saya harus memberikan jawaban yang pas, yang bisa dicerna anak seusia 6,5 tahun.

Lebih satu dekade ini, sejak penyerangan ke menara kembar WTC di Amerika Serikat pada 11 September 2001 dan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, saya mulai meminati bidang yang selama ini tak saya bayangkan sama sekali sebelumnya, yakni terorisme dan hal-hal terkaitnya. Saya mengikuti setiap perkembangan kasus terorisme di Indonesia dan di berbagai belahan dunia.

Saya membaca banyak artikel dan mengakses situs-situs khusus yang mengulas mengenai terorisme maupun kontraterorisme. Dari dalam maupun luar negeri. Sebuah kebiasaan yang membawa saya mengenal lebih dalam berbagai keburukan yang memikirkannya saja mengerikan apalagi melakukannya, namun itu nyata, terjadi di mana-mana.

Itu semua membekali saya mengenai bagaimana memahami sedikit mengenai dunia terorisme. Tapi ketika seorang anak kecil menanyakan definisinya, saya benar-benar berpikir lama menjawabnya.

Menurut saya, anak seusia itu belum layak dikenalkan dengan istilah atau tontonan berbau terorisme. Kami memang menghindarkan anak-anak dari hal-hal bernuansa kekerasan, apalagi terorisme. Mulai dari tontonan hingga kebiasaan bermain yang bersifat kekerasan dan bisa melukai dirinya dan orang lain.

Saya mencoba menjawab. Mengatakan bahwa teror itu adalah hal-hal yang sifatnya mengancam orang lain, memaksakan kehendak kepada orang lain. Dan saya melanjutkan, “...dan juga mem....” Saya hendak mengatakan kata 'membunuh' orang lain. Tapi saya tak kuasa mengatakannya. Saya tidak mau memperkenalkan kata-kata yang bermuatan kesadisan dan brutalitas kepada dia.

***

Tapi, kemarin, Kamis, 14 Januari 2016, Jakarta jelang siang yang tenang dalam kerutinan kesibukannya mendadak menegangkan. Sebuah ketegangan yang beresonansi tak cuma bagi seluruh warga Jakarta, tapi ke seluruh Indonesia hingga dunia.

Sekitar pukul 10.50 wib sebuah bom meledak di pos polisi lalu linta di Jl. Thamrin, Jakarta Pusat yang berada di perempatan depan pusat perbelanjaan Sarinah. Depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Ternyata, ledakan itu bukanlah ledakan pertama dan tunggal. Ada ledakan-ledakan yang mendahuluinya dan juga setelahnya. Terjadi juga penembakan yang menyasar warga sipil dan terutama aparat kepolisian. Hasilnya, tujuh nyawa melayang dimana lima di antaranya adalah pelaku, yang tewas karena membunuh diri dengan meledakkan bom yang dibawanya dan sisanya tewas dalam baku tembak dengan aparat kepolisian. Dua korban lainnya adalah satu warga Indonesia dan seorang warga Kanada keturunan Aljazair. Di luar mereka, 24 orang luka berat dan ringan yang dirawat di sejumlah rumah sakit.

***

"Teror itu berarti membunuh orang ya, Papi," begitu pernyataan Samuel pagi ini, Jum’at (15/1/2016) ketika di sela mempersiapkan dia untuk ke sekolah saya menyalakan televisi guna mengetahui perkembangan terbaru kasus terorisme kemarin.

Saya terhenyak sejenak. Ternyata, dia sudah tahu sendiri definisi teror yang beberapa hari lalu dia tanyakan. Dia menemukan sendiri setelah ikut menonton tayangan televisi mengenai aksi terorisme yang terjadi kemarin itu.

Mendengar itu, saya langsung terpikir untuk membantu dia mendapatkan penjelasan yang utuh. Saya mencoba menjelaskan pengertian terorisme kepada dia. Bahwa itu bukan perbuatan yang baik. Dan dia setuju dengan itu, bahwa tidak boleh membunuh orang lain. hal yang kami ajarkan dan juga dia dengarkan dari pelajaran Sekolah Minggunya di gereja.

Dalam perjalanan menuju mobil jemputannya pagi ini, saya melanjutkan diskusi. Saya tanya, “Menurut Abang, apakah melakukan teror itu baik?” Dia menjawab, "Tidak." “Menurut abang, bagaimana cara agar seseorang tidak membunuh orang lain?" tanya saya lagi. "Terorisnya dibunuh duluan!" jawabnya singkat dan spontan.

Saya terhenyak berat. Saya tidak menyangka dia sudah memikirkan sejauh itu. Tapi saya berusaha menetralisir dengan memberinya perspektif tambahan. "Tapi bagaimana kalau kita tidak membunuh terorisnya tapi kita usahakan beritahukan dia kalau membunuh orang lain itu salah, tidak baik. Bisa kan kita melakukan itu tanpa membunuh mereka?" tanya saya lagi. "Tapi kita tidak bisa melakukannya. Polisi yang bisa melakukannya," ujar dia berargumentasi. "Tapi kita kan bisa ajari terorisnya untuk tidak berbuat jahat seperti itu, kan. Nanti kita minta polisi melakukannya?" pancing saya lagi. "Teroris mah susah dibilangin, Papi. Dikasih tahu nanti dia begitu lagi. Makanya ditembakin saja," jawab dia tegas. Kali ini saya benar-benar terhenyak sangat.

***

Percakapan pagi ini menyadarkan saya bahwa anak-anak pun terpapar dengan maraknya aksi dan berita terorisme yang oleh para pelaku dibayangkan hanya sebagai 'urusan orang dewasa'. Saya pun, dan Anda semua yang punya anak, harus waspada dan mesti bekerja keras untuk memantau dan memastikan anak-anak kita tidak mengaplikasi apa yang mereka lihat dan dengar dari pemberitaan soal terorisme ini.

Saya juga mesti realistis, bahwa saya dan anak-anak yang akan bertumbuh besar ini hidup di dunia yang tidak mudah. Tidak senyaman dunia bermain dan dongeng yang mereka dengar dan lihat di televisi. Karena itu saya harus mengerti apa yang sedang terjadi dan juga menyiapkan diri memberikan penjelasan yang utuh bagi anak-anak mengenai terorisme itu.

Pada 17 Juli 2009 (5 hari sebelum kelahiran Samuel yang kini bertanya tentang terorisme kepada saya), sekitar satu jam setelah sekelompok teroris melakukan bom bunuh diri kedua kalinya di Hotel JW Marriot di Jakarta saya sudah berada di sana. Saya di sana untuk meliput ketika masih bekerja di koran harian ekonomi nasional Investor Daily. Kecepatan hadir di sana memberi saya kesempatan melihat kondisi awal kehancuran yang ditimbulkan oleh bom laknat itu. Kehancuran dimana-mana. Bagian bawah atau lobi hotel dengan merek asal Amerika Serikat itu benar-benar berantakan, tak berbentuk.

Saya menyaksikan satu per satu korban tewas dibawa keluar, di dalam kantong jenazah. Setiap kali jenazah keluar, semua mata terpana. Banyak yang histeris. Beberapa kali saya benar-benar berdiri kaku karena terpaku dalam ketakpercayaan bahwa saya sedang menyaksikan hal-hal buruk yang tak pernah terpikirkan akan dilakukan oleh manusia yang mengaku melakukannya demi dan atas nama Tuhan. Tuhan yang dalam pemahaman tradisonal saya dan juga hampir semua orang adalah Tuhan yang Mahabaik dan Mahapengasih.

Itu menyadarkan saya bahwa dunia yang saya hidupi adalah dunia yang tingkat kemampuannya memproduksi kejahatan terus meningkat. Tak sekadar kejahatan biasa, yang bisa ‘dicerna’ dengan mudah.

Itu juga yang menyadarkan saya bahwa ada hal yang salah dalam cara orang melihat kehidupan. Dan bahwa cara yang menghancurkan kehidupan itu tidak boleh terus dibiarkan. Bahwa kampanye menjaga kemaslahatan hidup harus terus disuarakan sebagai jawaban bagi mereka para perusak kehidupan.

Itu yang saya sadari dan ingin beritahukan kepada anak-anak saya sejak dini. Sekaligus mempersiapkan mereka bagaimana mereka harusnya melihat dan merespons kehidupan sedemikian rupa ini.

Bahwa mereka hidup di dunia yang tak cuma ditinggali orang-orang baik dan polos seperti mereka, tetapi juga oleh para para perusak. Orang-orang yang berpikir pendek dan tidak bisa menghargai kehidupan. Orang-orang yang gampang gelap mata, yang hanya memikirkan diri sendiri. Orang-orang yang dikelabui tawaran surga khalayannya sendiri dan pemenuhan nafsu sendiri. Orang-orang yang ingin mencapai kebaikan dengan melakukan kerusakan pada kemanusiaan.

Dunia yang juga diisi oleh mereka yang disebut teroris dan menyebut diri mereka utusan Tuhan, entah apapun agama yang ditumpangi dan ideologi yang menggerakkan mereka. Orang-orang yang tidak hanya suka ancam sana-sini, tapi juga yang menjadikan diri mereka sebagai senjata teror dan teror itu sendiri. Mereka menyediakan tubuh mereka sebagai senjata kematian.

Orang-orang yang mengaku ber-Tuhan, namun dengan karakteristik yang menyeramkan, pencabut nyawa, tak berperi kebaikan, suka perang, tidak beradab dan perlu pembelaan manusia-manusia picik. Tuhan yang sejatinya hanya menurut tafsiran mereka sendiri seperti itu tabiatnya. Tuhan yang mereka ciptakan sendiri guna memuaskan hasrat dan naluri membunuh mereka.

Tuhan yang sejati itu sendiri, sebagaimana diyakini hampir semua manusia di dunia ini, entah apapun agamanya, sejatinya tidaklah demikian. Tuhan mereka adalah tuhan yang berbeda dengan yang diyakini oleh hampir semua kaum yang beragama dan beradab di jagad dan di Indonesia ini, yang memperjuangkan kemaslahatan dengan cara-cara yang beradab. Kabar baiknya, sejauh ini, Indonesia masih dipenuhi oleh kaum beragama dan beradab seperti itu.

Sejatinya, kalau Dia Tuhan yang benar, maka Dia bukanlah Tuhan yang sadis seperti diyakini para teroris itu. Tetapi, Tuhan yang [sifat] asasinya adalah kebenaran, kebaikan, kemurahan hati, dan menyediakan tuntunan bagi orang-orang sesat untuk kembali kepada-Nya dalam cara-cara damai, bukan dengan kekerasan. Tuhan yang menarik hati manusia untuk kembali kepada-Nya karena kemurahan hati dan belas kasih-Nya, bukan dengan kekerasan dan kebengisan.

***

Beberapa saat setelah kejadian itu, Presiden Jokowi yang sedang berada di Cirebon, Jawa Barat memberikan pernyataan. Mengutuk keras tindakan bar-bar di siang hari di pusat bisnis di jantung Jakarta tersebut. Jokowi menjanjikan mengejar para pelaku dalam peristiwa maupun jaringannya.

Tak cuma itu, Jokowi juga mengingatkan bahwa negara, bangsa dan rakyat Indonesia tidak boleh takut, tidak boleh kalah oleh teror.

Tepat sekali. Kita tidak boleh kalah. Karena kita tidak salah. Merekalah yang salah, termasuk salah berpikir sehingga menyia-nyiakan hidupnya dan orang lain untuk sesuatu yang salah.

Tak berselang lama, muncul hastag Kami Tidak Takut (‪#‎KamiTidakTakut‬) sebagai pernyataan sikap yang singkat dan jelas untuk para teroris itu. Ya, itu pesan dari orang-orang yang mencintai kehidupan, untuk mengingatkan mereka yang hobi merusak kehidupan untuk bertobat.

Jikalau kita ingin keadaban, dunia yang berkeadaban berdasarkan keyakinan akan Tuhan yang juga beradab, marilah memelihara kehidupan dengan cara yang beradab pula. Tidak dengan merusaknya.

Kita juga mesti waspada. Setiap kita berpotensi menjadi teroris. Entah apapun bentuknya. Mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling buruk seperti dipertontonkan di siang bolong Jakarta yang terik kemarin itu. Karena itu jagalah diri Anda.

Jangan jadikan hidup/tubuh Anda menjadi senjata kelaliman, senjata perusak dan yang mematikan kehidupan.

Jadikanlah hidupmu sebagai senjata kebenaran, senjata kehidupan.

Jangan salahgunakan hidupmu! Tuhan menciptakanmu sebagaimana juga orang lain adalah untuk maksud/tujuan yang baik.

Jangan merusaknya dengan pikiran bahwa Tuhan menginginkanmu melakukan kerusakan atas nama-Nya.

Warung Buncit, Jakarta Selatan
Jum’at pagi, 15 Januari 2016
Facebook : Etis Nehe; Twitter : @etisnehe; Instagram : Etis Nehe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun