Sore para pembaca yang budiman, semoga tulisan amburadul Ester ini bermanfaat. Horas!
Kata Mama, dan dosen Ester di kampus, bunga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan maksud terpendam, sebuah perasaan yang sulit disampaikan dengan lisan, bukan karena kesulitan memilih kata-kata, atau sulitnya mengeja sebuah kalimat dengan Bahasa yang jelas dan diutarakan … tetapi ada sebuah perasaan yang tidak bisa digambarkan melalui kata-kata, ia seolah gelombang … membuncah seperti tsunami yang memeluk siapa saja didepannya … membuatnya hanyut dan tenggelam dalam dekapan. Itulah simbolisme bunga … ada sebuah arti dan makna tersembunyi pada setiap bunga-bunga yang berdiri anggun tetapi juga pongah di Balaikota Jakarta. Anggun karena dikirimkan dengan perasaan dan ungkapan cinta yang dalam, pongah karena menganggap sang cinta tidak layak dikalahkan dalam pilkada … “cintaku kalah karena politik agama” itulah dibenak para pencinta. Entah benar atau tidak, sang pencinta tidak membutuhkannya.
Setelah Ahok kalah dalam pilkada, kata mama Ester, kotak Pandora tidak akan lama lagi terbuka, seperti film Pandora Korea wabah akan menyebar begitu cepat, kebusukan akan menetralkan cinta yang memabukkan. Kotak Pandora ini tinggal menunggu waktu, apakah dstimulus oleh keputusan sang Hakim, atau setelah Anies dan Sandi duduk di Balaikota. Belbagai peristiwa politik akan kembali mewarnai surat kabar. Kasus demi kasus akan dibuka kembali. Kotak Pandora yang akan menyulitkan Ahok dan orang-orang dibelakangnya. Skandal Reklamasi, Sumberwaras, Busway, Tanah Cengkareng … atau mungkin ada lagi. Kata mama Ester mengutip dari pepatah Tionghoa “Sifat manusia pada dasarnya baik tetapi sering ditutup keinginan-keinginan, sehingga mendadak kehilangan daya lihatnya”. Seperti kata KPK, Ahok selamat dari kasus Sumber Waras “karena tidak ada niat jahat”, ya mungkin tidak ada niat jahat …, entalah bagaimana KPK dapat meneropong niat itu berada di kepala atau dihati Ahok. Mungkinkah skandal ini terjadi akibat hilangnya daya lihat Ahok? Entahlah, Ester merasa ada kontradiksi didalam setiap kebijakannya.
Ester menyimak kata-kata Ahok dalam pledoinya, esok setelah kalah dalam pilkada. Ahok menyamakan dirinya sebagai ikan Nemo, ikan yang dianggap melawan arus. Ahok (mungkin) benar dalam melawan arus, yaitu arus korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi selama ini di Balaikota. Tetapi apa hubungannya dengan kata-katanya yang membuatnya menjadi terdakwa penista agama? Ahok mungkin benar ketika ia mengatakan kata-kata kasar, kotor dan tidak pantas dengan alasan itu digunakannya kepada para koruptor. Tetapi bukannya kata-kata itu juga diucapkannya secara serampangan, terbuka, dan vulgar dimuka umum? Ahok mungkin lupa dengan yang ada di Bible Mat 15 (18) “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang”,apakah Bible mengajarkan berkata-kata kasar, vulgar dan tidak mengenal etika dengan para pegundal sekalipun. Kata mama Ester, Ahok sungguh jauh dari ajaran Kristus, dan tidak layak menjadi panutan. Mungkin kata-kata mama inilah yang membuat Ester mengurungkan niat memilihnya kemarin. Lalu apa korelasinya dengan kata-katanya yang dianggap menista agama? Mungkin Ester mengutip kata-kata Nusron, bahwa hanya Ahoklah yang dapat menafsirkan kata-katanya … ya mungkin Nusron benar, hanya kitalah yang berhak menafsirkan kata-kata kita sendiri, maka tiap orang tanpa sadar punya mental mau benar sendiri … apakah ikan Nemo merasakan hal yang sama?
Lalu apa hubungannya Ahok dengan dramatisasi bunga di Balaikota? Kata mama Ester, Ahok kini sedang diujung tanduk, tanduk kerbau bermulut putih dengan matanya yang merah menyala. Kekuatan dibelakangnya ingin melindunginya dari kekalahan beruntun, karena akan mempercepat kotak Pandora terbuka, yang mungkin akan banyak elit-elit yang tergenggam bersamanya. Kata mama, bunga ini pesan tersirat yang dikirimkan kepada sang hakim, bahwa pecinta-pecinta Ahok sedang melakukan permainan psikologis, dan mencoba mengambarkan Ahok bukanlah seperti apa yang dituduhkan, bukanlah penista, dan juga bukan sang penoda agama. Seribu bunga atau dua ribu bunga adalah pesan untuk sang hakim bahwa diluar sana begitu banyak yang mencintainya, hakim tidak boleh begitu saja mematahkan hati mereka lagi, setelah kalah dalam pilkada, kekalahan yang sangat meyakitkan, sakitnya tuch disini kata seorang bijak dari teman Ester. Masuknya Ahok dalam penjara mungkin dapat menyebabkan kegilaan bagi para pencinta, maka penting bagi hakim untuk melihat aspek sosiologis dalam setiap pengambilan keputusannya. Karena bukan tidak mungkin hakim akan disalahkan jika para pecinta Ahok terjun dari monas, atau menenggelamkan dirinya di sungai ciliwung … atau juga bunuh diri massal, mungkinkah itu terjadi? Mungkin saja, karena pecinta akan selalu berada saru langkah didepan dari yang dicinta.
Menurut Ester yang ngga ngerti politik dan tentunya bodoh, karangan bunga sampai seribu tersebut punya kaitan dengan hujan sembako di H-2 sebelum pencoblosan, pilkada 2017 akan diingat banyak orang munculnya musim baru, musim hujan sembako. Ester merasakan bagaimana hujan sembako itu mengedor-gedor tiap pintu-pintu rumah dilingkungan Ester, terasa sangat menganggu. Tujuannya tentu untuk mengetuk hati mereka dan memilih sesuai pesanan yang memberikan sembako, anehnya dimana pemerintah ketika itu terjadi? Bukankah sembako gratis seharusnya tugas pemerintah? Tapi sudahlah, Ester semakin bingung, nanya ke mama juga semakin membuat bingung. Tetapi setelah pilkada usai, maka hujan sembako tentu tidak dibutuhkan lagi, karena 1 suara pun tidak lagi berguna. Maka demo karangan bunga menjadi penting, karena akan dibombardir oleh berbagai media dengan framing sesuai dengan kehendak pemuja cinta … inilah pesan tersirat, pesan politik bagi hakim … mohon bebaskan cinta dari belenggu penjara, bebaskan cinta dari kesalahannya … walaupun telah banyak melukai, dan membuat perpecahan … maka seribu bunga walaupun tergeletak pasrah setelah terkena hujan badai kemarin siang apakah alam marah? Sesungguhnya semua bunga itu tidak tertuju kepada Ahok, tetapi kepada hakim, demi kebebasan yang dicinta!
Sore hari ini, begitu terang, dan duduk di teras dan melihat sobekan peraga kampanye membuat ester tersenyum simpul. Sore ditemani roti keju dan kopi Aceh, Ester kembali tertawa melihat sebuah hasil survey di sebuah suratkabar yang sebelumnya begitu yakin memenangkan Ahok-Badja, kursi Ester bergetar, bukan karena ketawa mama dan papa, tetapi karena commuterline lewat persis di depan rumah dengan suaranya yang keras. Sore Jakarta, senja kali ini, semoga selalu cantik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H