Mohon tunggu...
Dina Esterina
Dina Esterina Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta di Gereja Kristen Pasundan. Blogger di www.dinaesterinastories.blogspot.com dan podcaster di AFTERCOV

Tertarik menyororot dan menautkan makna hidup sebagai seorang yang spiritual dengan berbagai fenomena yang ada di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Siapa yang Mau Sakit?

20 Desember 2023   14:22 Diperbarui: 20 Desember 2023   14:26 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler


Kekristenan, menekankan bahwa salib selalu mendahului mahkota. Karenanya orang kristiani sejati mesti mau memikul salib. Kalau perlu, sampai salib itu meninggalkan parut luka yang perih. Sebab kota kebahagiaan cuma dapat dimasuki melalui jalan penderitaan
---Martin Luther King. Jr --

Pertanyaan, "mengapa saya sakit keras dan orang lain tidak?" biasanya dijawab oleh orang Kristen dengan banyak cara. Ada yang meresponnya dengan marah dan kecewa. Ada juga yang tetap menjalani dengan menganggap bahwa semua yang terjadi adalah takdir atau nasib yang mesti dijalani. Tapi kedua sikap ini, bukannya menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru. Orang yang kecewa dan marah, pada akhirnya semakin menyakiti diri sendiri. Sementara mereka yang pasrah pada nasib, tidak melakukan apa-apa dan menyerah menunggu ajal tiba. Sikap mana yang tepat? Tidak ada yang tepat di dalam keduanya.
Tidak ada orang yang mau sakit keras dan tidak sembuh-sembuh. Semua mau sembuh, bahkan tidak sakit, mau sehat terus. Tapi tahukah anda bahwa rasa sakit juga merupakan anugerah? Mungkin anda berkata,

"Ah, penulis ini bercanda kali?" Tapi, saya sungguh-sungguh! Sakit itu merupakan anugerah.
Bayangkan bahwa bagian tubuh anda tidak bisa merasakan rasa sakit. Hidung anda tidak bersin ketika debu masuk. Kulit anda tidak gatal ketika anda salah makan. Jari anda yang sakit gula tiba-tiba terputus dan hilang tanpa anda merasa sakit. Anda tidak merasa sakit kepala padahal tensi anda tinggi. Bukankah ini sangat berbahaya? Rasa sakit sesungguhnya memberi kita tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuh kita. Ini adalah sebuah sistem tanda bahaya yang dirancang Tuhan untuk menegur kita: bahwa ada yang salah dengan tubuh kita dan cara kita memperlakukan tubuh kita.

Eka Darmaputera yang bergumul selama 20 tahun dengan sirosis (kelainan hati) dan kanker hati menuliskan pergumulannya dalam Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Pergumulan Iman dan Kesaksian Hidup Seorang Anak Tuhan Menghadapi Penyakit dan Kelemahan Fisik. Penulis hebat yang sudah dipanggil Tuhan bertahun lalu ini, dengan jujur mengemukakan bahwa bagi orang Kristen: tragedi, penyakit, dan kelemahan-kelemahan fisik bahkan kematian juga alamiah dan mesti terjadi. Bukan karena percaya pada Yesus, lantas kita tidak bisa terkena penyakit dan mendapatkan tragedi.

Kenapa? Karena kesakitan dan rasa enak merupakan dua sisi mata uang yang selalu berlekatan. Tidak ada rasa enak tanpa kesakitan, dan rasa sakit juga bisa jadi berkat. Sekali lagi, ini bukan berarti mengajak saudara tidak berobat, dan tidak ke rumah sakit. Bukan berarti juga, kita mesti rame-rame sakit. Tapi coba saja renungkan, tidak ada kenikmatan yang tidak berpotensi pada rasa sakit. Contoh, rasa sakit yang ada di balik hamburger yang kita makan dan berpotensi membuat tensi dan gula darah kita naik. Rasa enak karena naik motor ke mana-mana yang membuat kita malas jalan kaki meski hanya ingin pergi ke warung samping rumah, bukankah itu bisa membuat tubuh kita malas bergerak lalu sakit jantung?

Lalu, apakah dalam setiap kesakitan yang kita rasakan juga selalu tersimpan penderitaan? Tidak mesti. Rasa sakit karena alergi atau flu justru merupakan anugerah yang diberi Tuhan untuk menegur dan mengingatkan kita untuk menjaga tubuh lebih baik. Banjir memberi kita peringatan untuk menjaga alam dengan lebih baik.
Jika demikian, apakah kita mesti pasrah pada nasib? Apa kita mesti diam saja menyerah dengan keadaan. Dan, yang lebih penting lagi, pertanyaan yang sering "menyiksa" orang kristen: Apakah penyakit dan penderitaan hidup itu datangnya dari Allah? Jika Allah memang berkuasa, mengapa Dia begitu kejam dan sewenang-wenang? Tidak bisakah Dia membuat kita sehat terus menerus? Tidak bisakah Dia menjauhkan kita dari malapetaka dan tragedi? Mengapa seringkali Dia malah melakukan yang sebaliknya?


Banyak orang berpikir, bahwa dia sakit karena dosa-dosanya. Padahal, kisah Ayub dalam alkitab menggambarkan bahwa seringkali sakit justru muncul bukan karena dosa melainkan karena ujian iman dan perkenanan Allah. Sakit itu datangnya dari Si Jahat. Tetapi pengenalan kita yang tidak sempurna akan kehendak Allah membuat kita menghakimi sesama dan mencari-cari penyebab dosa. Kemudian, yang sakit menghakimi diri sendiri dan membuat penyesalan berlebihan dalam kalimat, "Ampun Tuhan, cabut saja nyawa saya kalau begini!" Dan kemudian mengarahkan penghakiman itu pada Allah sendiri, "Tuhan membenci saya dan karenanya Dia membiarkan saya menderita seperti ini." Apakah sikap-sikap ini tepat? Lagi-lagi tidak.

Philip Yancey mengatakan bahwa penyakit dan tragedi adalah megafon (alat pengeras suara) dari Tuhan. Ya! Tanpa penyakit dan tragedi, kita akan berjalan menurut keinginan dan rasa nikmat tanpa peduli pada dosa dan kesalahan. Sakit itu suara Tuhan yang didengungkan. Dari mana munculnya? Bisa karena si jahat atau bisa karena diri kita sendiri. Kasus karena faktor X si jahat ada pada kasus Ayub yang sakitnya berasal dari ujian iman yang dirancang si jahat dan diijinkan Tuhan terjadi untuk memurnikan iman Ayub. Kasus sakit karena diri sendiri misalnya  terdapat dalam diri bangsa Israel yang sering "dihajar" Tuhan karena bandel dan ndableg (=keras kepala). Bangsa Israel sakit karena perbuatan jahat sendiri. Bagaimanapun, rasa sakit adalah cara Tuhan membuat kita berpaling kepada Dia dan membuat kita berdiam dalam hadiratNya untuk kemudian memperbaiki hidup.

Apakah Tuhan mengetahui kesakitan kita? Ya. Apa Dia berperan mengijinkan kita sakit? Bisa jadi. Tapi apa maksud-Nya? Itu yang mesti kita cari. Jadi, jangan berhenti sampai pada pertanyaan mengapa? Lanjutkan pada pertanyaan: apa sesungguhnya maksud Tuhan di balik semua ini, dan apa yang mesti saya lakukan?

Yang mesti kita tahu, Allah juga menderita. Allah juga bersedia menanggung sakit. Allah tidak anti-sakit. Lho? Kenapa? Kenapa Allah mesti sakit? Kenapa Dia mesti ikut-ikutan menderita? Kapan Dia menderita dan sakit? Kenapa Dia tidak menghindari rasa sakit itu? Bukankah Dia Tuhan?

"Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh... Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat, sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya. Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan...ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah..." (Yesaya 53:3-10)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun