Mohon tunggu...
Esra K. Sembiring
Esra K. Sembiring Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS

"Dalam Dunia Yang Penuh Kekhawatiran, Jadilah Pejuang"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memahami Kebebasan Demokrasi Tanpa Intrik

26 Mei 2019   14:31 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:36 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada apa dengan demokrasi kita saat ini sehingga hasil resmi rekapitulasi pemilu oleh KPU digugat oleh sebagian pihak ?. Mungkinkah terlalu besar resiko negatifnya bagi integrasi nasional  bila kita tetap memilih sistim pemilu langsung seperti saat ini ?, dan masih banyak pertanyaan yang mengganjal lainnya sehingga kondisi perpolitikan nasional pasca pemilu justru menjadi semakin panas. Apakah benar ada pihak ke 3 yang menjadi pemicu kerusuhan pada 22 mei lalu ?.

Analisa dan solusinya masih perlu pembuktian dan argumen yang hati-hati agar tidak menjadi feed back perseteruan yang tidak berakhir karena semua pihak pasti berusaha mencari alasan  pembenarannya.

Lalu siapa yang harus dituntut bertanggungjawab bila sebagian masyarakat kita masih mudah terpancing emosinya dan bertindak anarkis ?. Sebagian pakar sosial menyimpulkan kondisi ini dapat terjadi karena marak dipakainya klaim kebenaran atau kemenangan secara sepihak oleh peserta dan elite politik, juga tim suksesnya  sehingga secara langsung ataupun tidak akhirnya menggiring emosi fanatisme (sempit) pada sebagian masyarakat seperti yang terlihat pada aksi protes 22 mei lalu.

Perdebatan opini dan klaim kemenangan pilpres, tentang siapa sebenarnya pihak yang lebih unggul suara pemilih-nya. Munculnya benih konflik disintegrasi bangsa seperti ini, bila tidak berhasil dikendalikan dan dinetralisir akan menjadi fatal bagi keutuhan NKRI seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada masa lalu. Indikasi disintegrasi ini terlihat dari menular-nya emosi kerusuhan massa di jakarta ke pontianak, semarang dan daerah lainnya. Dengan demikian, maka sudah sepatutnya  menjadi keprihatinan semua pihak untuk segera memberikan pendidikan politik dan pemahaman aturan demokrasi yang sehat kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali, terutama dalam point kebebasan menyampaikan aspirasi pendapatnya. 

Apakah esensi kebebasan berpendapat dalam demokrasi sudah dipahami seluruh masyarakat kita secara benar, sebagai sebuah kebebasan terbatas, yang ada batasan dan aturannya, atau belum ?!.

Mengapa kebebasan itu harus ada batasannya ?. Sejarah bangsa mengajarkan pengalaman penting bagi kita semua. Dinamika kebebasan pada era demokrasi  di Indonesia diawali dengan suatu peristiwa sejarah yang sangat kelam, yaitu Gerakan 30 September(G30S) atau yang sering juga disebut dengan G30S/PKI. Peristiwa ini menelan korban kurang lebih tiga juta orang, (menurut Sarwo Edhie Wibowo, peristiwa ini sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus genosida terbesar keempat di dunia setelah Jerman Nazi, Kamboja Demokratik, dan Rwanda). 

Tiga juta nyawa rakyat hilang pada saat itu yang seharusnya bisa dihindarkan dari sebuah arus perubahan politik, bila konflik politik yang ada diselesaikan oleh elite politik secara sejuk, demokratis dengan penyelesaian hukum. 

Pengalaman pahit sejarah bangsa tidak perlu terulang lagi, karena itu maka menjadi tidak layak bila pada saat ini masih ada pihak yang malah tetap aktif memanaskan suasana.  Apakah fakta sejarah pahit disintegrasi bangsa ini perlu diingatkan terus, agar perpecahan bangsa tidak terulang pada masa penantian putusan MK tentang perselisihan pemilu ?.

Setuju atau tidak setuju, sejarah perjuangan bangsa Indonesia membuktikan perlunya usaha bersama yang (sangat) keras untuk menjaga keutuhan bangsa yang majemuk ini. Sudah cukup banyak contohnya. Sejarah pahit disintegrasi bangsa di tahun 50 an, konflik sosial politik di tahun 60 an, konflik antar suku  di Aceh, Sampit dan Maluku serta di beberapa daerah lainnya  merupakan tanggungjawab  semua pihak. Dengan fakta seperti ini  maka potensi perpecahan bangsa harus diantisipasi bersama sejak dini agar tidak muncul dan terulang kembali. Karena itu apapun solusi yang disampaikan, harus menempatkan kepentingan nasional dalam menjaga persatuan dan keutuhan bangsa sebagai prioritas yang utama  daripada kepentingan politik.

Artinya  para elite yang berada disekitar capres seharusnya juga mampu menahan diri untuk berkomentar miring dan tidak memanaskan situasi politik nasional seperti yang masih selalu dipertontonkan pada debat, wawancara, diskusi di media elektronik maupun media sosial, bahkan juga disajikan ditengah ruang-ruang privat rakyat. Apakah aturan persaingan pemilu  seperti saat ini mengijinkan para elite politik bebas menggoreng emosi para relawan pendukungnya tanpa perduli pada potensi keretakan integrasi nasional bangsa yang juga diakibatkannya ?. 

Lalu, bagaimana sebaiknya menyikapi putusan sengketa pemilu ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun