Â
Perkembangan teknologi komunikasi saat ini terlihat sungguh sangat luar biasa pesat-nya, mulai dari level lapisan masyarakat yang berusia muda sampai dewasa, di desa maupun kota, kalangan ter "didik" ataupun yang masih mengenyam pendidikan semuanya seolah sudah menjadi "pakar" teknologi komunikasi terkini.Â
Semua terlihat "asyik" dengan "hand phone" nya larut dengan lingkungan "semu" media sosialnya masing-masing. Memang biaya perangkat telekomunikasi yang relatif "terjangkau"  dan layanan internet yang semakin murah  pada akhirnya membuat batasan komunikasi dalam masyarakat menjadi semakin "absurd", semakin tidak jelas batasnya.Â
Bahkan beragamnya jenis media sosial juga tersedia untuk dimanfaatkan semaksimalnya, se enak-enaknya, dimana saja tanpa khawatir bila komunikasi yang diakibatkannya (juga) dapat  menimbulkan "ketersinggungan" dengan individu lainnya. Mengapa bisa demikian ?.,Â
Ternyata karena salah satu keunggulan media sosial diantaranya adalah ia bisa "menyamarkan" identitas penggunanya (tentunya dengan menggunakan identitas palsu atau anonim lainnya) sehingga (lebih) mudah baginya untuk menghindar dari "tuntutan" pertanggungjawabannya. Makanya pantas saja "hoaks" dan "ujaran kebencian" gampang untuk di "ciptakan" dan mudah untuk disebarluaskan.
Media sosial semestinya dimanfaatkan untuk keperluan bersosialisasi dan berinteraksi sesama masyarakat dengan menyebarkan konten-konten positif. Kenyataannnya, beberapa pihak memanfaatkan berbagai jenis media sosial ini untuk menyebarkan informasi yang mengandung konten negatif yang potensial menimbulkan disintegrasi nasional, sebagai contoh adalah masih maraknya ujaran kebencian dan informasi bohong di media sosial saat ini.Â
Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menilai gejala radikalisme akibat disrupsi teknologi juga dialami oleh semua bangsa. Jimly melihat tingginya keberagaman yang dimiliki Indonesia juga menjadi titik rawan akan sulitnya mengendalikan gesekan konflik masyarakat di media sosial.Â
Senada dengan hal tersebut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, pihaknya telah memblokir 2.145 akun media sosial yang terkait dengan radikalisme. "Sudah 2.145 yang sudah di-takedown (diturunkan). Ada (di) Facebook, Telegram, Twitter," Saat ini juga, kata Rudiantara, kurang lebih 2.000 akun media sosial tengah diverifikasi pihaknya.
Fakta penting lainnya dikemukakan oleh peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia Solahudin yang menyatakan, media sosial saat ini juga dimanfaatkan secara maksimal oleh kelompok-kelompok ekstrimis di Indonesia. Hal ini khususnya terkait penyebaran paham radikalisme.Â
Secara umum, kata Solahudin, media sosial penting untuk proses radikalisasi dan rekrutmen. Namun, dalam konteks di Indonesia, media sosial lebih digunakan untuk proses radikalisasi. Solahudin menjelaskan, pada tahun 2017 saja, ISIS memiliki lebih dari 60 channel atau kanal Telegram berbahasa Indonesia.Â
Tidak hanya itu, ada juga sekitar 30 grup chat Telegram berbahasa Indonesia. Untuk setiap channel Telegram, ada sekitar 80 hingga 150 pesan bernada kekerasan yang didistribusikan setiap harinya. Apabila dikaitkan dengan jumlah channel terkait ISIS yang ada di Telegram, maka ada ribuan pesan radikal yang beredar setiap harinya. Semakin "Intensifnya orang terpapar pesan kekerasan membuat proses radikalisasi sekarang lebih kencang,". ujar Solahudin.