Kasus:Â
Korupsi Pertamina : Mengoplas Pertalite jadi Pertamax
Analisis Kasus dalam Pandangan Hukum Positivisme:
Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, yang melibatkan pengoplosan BBM dari Pertalite menjadi Pertamax, telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun. Dalam kasus ini, para tersangka diduga membeli Pertalite (RON 90), kemudian mencampurnya agar menyerupai Pertamax (RON 92), namun tetap menjualnya dengan harga Pertamax. Tindakan ini jelas melanggar regulasi dan merugikan konsumen serta negara.
Dari perspektif hukum positivisme, yang memandang hukum sebagai seperangkat aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah tanpa mempertimbangkan aspek moral atau etika, fokus utama adalah pada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks ini, tindakan pengoplosan BBM tersebut melanggar ketentuan hukum yang mengatur standar dan distribusi bahan bakar minyak di Indonesia.
Menurut hukum positif, setiap pelanggaran terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh otoritas yang berwenang harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, para pelaku dapat dijerat dengan undang-undang anti-korupsi dan peraturan lainnya yang relevan, mengingat tindakan mereka telah menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi negara dan masyarakat.
Pendekatan positivisme hukum menekankan pentingnya penegakan hukum yang konsisten dan objektif, tanpa dipengaruhi oleh pertimbangan moral atau subjektivitas. Oleh karena itu, dalam kasus ini, proses hukum harus berjalan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, memastikan bahwa para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dengan pelanggaran yang telah mereka lakukan, guna menjaga integritas sistem hukum dan kepercayaan publik.
Pandangan Mazhab Mengenai Kasus yang terkait dengan Hukum Positivisme :
Dalam perspektif hukum positivisme, kasus korupsi pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax akan dianalisis berdasarkan aturan hukum yang berlaku, tanpa mempertimbangkan aspek moral atau etika di luar ketentuan hukum tertulis. Berikut adalah bagaimana berbagai mazhab dalam hukum positivisme memandang kasus ini:
1. Mazhab Positivisme Hukum John Austin (Analytical Positivism)
- Austin berpendapat bahwa hukum adalah perintah dari penguasa (sovereign) yang didukung oleh sanksi.
- Dalam kasus ini, tindakan pengoplosan BBM yang merugikan negara dan konsumen adalah pelanggaran hukum, karena bertentangan dengan peraturan pemerintah mengenai distribusi dan standar bahan bakar.
- Oleh karena itu, para pelaku harus dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku, seperti UU Tipikor dan regulasi terkait energi.
2. Mazhab Positivisme Hukum Hans Kelsen (Pure Theory of Law)
- Kelsen menekankan bahwa hukum harus dilihat secara murni, terpisah dari unsur moral atau nilai sosial.
- Kasus pengoplosan BBM hanya dapat dinilai berdasarkan sistem norma hukum yang ada.
- Jika tindakan tersebut melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh otoritas hukum yang sah, maka pelaku harus dihukum sesuai dengan hierarki norma hukum yang berlaku.
3. Mazhab Positivisme Hukum H.L.A. Hart (Soft Positivism)
- Hart mengakui bahwa hukum tidak hanya berupa aturan perintah tetapi juga dipengaruhi oleh standar sosial dan keadilan.
- Dalam kasus ini, selain aturan hukum tertulis, harus diperhatikan juga bagaimana masyarakat memandang tindakan pengoplosan BBM tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kepentingan publik.
- Namun, meskipun ada aspek sosial yang dipertimbangkan, keputusan tetap harus berdasarkan hukum yang berlaku