Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu... Guru Sosiologi SMA N 1 Pamotan -

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasehat untuk Budi Waseso

1 Desember 2015   21:09 Diperbarui: 1 Desember 2015   21:36 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Adu gagasan Budi Waseso tentang Penjara Berbuaya untuk Bandar Narkoba baru-baru ini (Doc. Kompas Petang, 2015)"][/caption]Trending topik di banyak media baru-baru ini seakan memuji Budi Waseso. Ia adalah loyalis Komjen Budi Gunawan, yang konon dekat dengan Megawati (Kompas, 27/01/2015). Namun tak lama kemudian, namanya harus digeser dari Kabareskrim menjadi kepala BNN karena buah politik yang dimainkan para penguasa, yaitu dugaan skandal pemilihan Kapolri yang berujung kriminalisasi KPK (Kompas, 04/09/2015).

Usai pamitan dari Bareskrim, kado untuk polisi yang dikonstruksikan media paling galak ini adalah membangun penjara berbuaya untuk para Bandar Narkoba. Narkobawan dan narkobawati dijamin ciut pikir dan kerut langkah, karena tak lama lagi penjara paling garang ini, siap menjadi tempat berlabuh untuk penebus dosa-dosanya.

Bagi masyarakat yang setuju konsep penjara Pak Budi Waseso ini, jelas menyambut riang gembira. Mereka beralasan, ketika penjara tidak membuat jera Bandar narkoba, buaya adalah solusinya. Sebaliknya, masyarakat yang kontra, mereka akan tangis dada. Bukankah penegakan aturan hukum belum baik, adalah alasan penolakannya.

Tulisan ini semata-mata hanya untuk (berniat) memberi nasehat kepada Bapak Kepala BNN, Budi Waseso. Fokus tulisan ini hanyalah menimbang rencana Budi Waseso yang melampau batas (itupun jika diijinkan) yaitu akan membangun penjara berbuaya. Hemat penulis, rencana Kepala BNN ini cenderung bertolak belakang dengan prinsip etik, prinsip legalitas, prinsip primordialistik kiri, dan prinsip resiko kebencanaan. Berikut ini sedikit ulasannya.

Sepintas, tampaknya, buaya menurut Budi Waseso adalah segala-galanya. Sekali para bandar narkoba dijebloskan penjara berbuaya, mereka harus taruhan nyawa jika ingin lari dari kamar ritual tebus dosa. Mereka (para Bandar) juga harus siap dirobek-robek buaya mulai dari kulit hingga tulangnya hanya dengan berani bayangin lolos dari penjara. Namun pertanyannya, apa benar, mereka para Bandar hilang nyali? Jangan-jangan malah sebaliknya.

Secara etik, siasat Budi Waseso dalam menggunakan buaya ini, adalah cacat. Bagaimana tidak? Budi Waseso telah merendahkan pengabdian para sipir dan kesadaran para napi. Apakah benar bahwa para sipir itu selalu mencari untung dengan meringankan beban, membantu transaksi narkoba dari dalam, hingga membebaskan para napi? Jika alasannya ini, maka Budi Waseso sama halnya membenarkan perilaku buruk sipir penjara.

Selanjutnya, apakah benar bahwa selamanya Bandar narkoba yang dipenjara itu tidak akan sadar manjadi warga Negara yang baik? Jika alasan Budi Waseso adalah demikian, maka sama halnya yang bersangkutan tidak percaya terhadap fungsi lembaga pemasyarakatan itu sendiri. Selaku bagian dari internal penegak hukum, Budi Waseso harusnya berpikir keras untuk mengembalikan marwah dari para sipir dan lembaga pemasyarakatan itu sendiri. Jangan sampai buah pikir penjara berbuaya malah mendelegetimasi tubuh internal POLRI itu sendiri.

Bahkan Budi Waseso tidak lagi mengindahkan sentuhan kemanusiaan dalam perencanaan menghukum orang. Kalau toh napi mati dimakan buaya, yang bertanggung jawab jelas Budi Waseso. Mengapa demikian? Karena untuk napi dengan fonis hukuman kurungan (misal dihukum seumur hidup), yang menghukum harus bertanggung jawab atas nyawa karena apapun, kapanpun, dan siapapun, termasuk ulah buaya. Jikapun fonis itu hukum mati, dalam peraturan tidak tertulis bahwa buaya adalah martirnya. Jika suatu nanti, napi apapun mati karena buaya, sama halnya telah terjadi insiden kemanusian keji, ukurannya. Namun prinsip legalitas ini dapat disiasati, dimana Budi Waseso dapat melobi legislatif untuk pesan aturan khusus atau peralihan tentang penjara berbuaya. Namun perlu diingat, melobi legislatif tak semudah sang pawang menaklukkan gajah.

Bagimana dengan prinsip primordialistik kiri? Budi Waseso harus ingat cerita kancil dan buaya. Mungkin saja ini hal kecil yang terlupakan. Sedikit mengulas, bahwa suatu hari kancil akan dimakan buaya. Namun kancil cerdik, ia janjikan daging yang segar dan lebih pada banyak buaya. Alhasil, dalam cerita itu, entah kenapa buaya-buaya itu percaya janji kancil. Bahkan tak hanya percaya saja, buaya itu malah menyeberangkan kancil dari arus sungai yang penuh mara bahaya. Gak jadi dimakan buaya deh si kancil.

Dari cerita anak-anak di atas, (anggap saja si Bandar narkoba dapat cerita si kancil saat masa kecilnya), sangat mungkin akan menjadi pembuka primordialitas kirinya. Cerita tersebut sangat mungkin termanifestasikan dalam meloloskan dirinya dari buaya.

(anggap saja) Si kancil adalah representasi napi Bandar Narkoba. Sedangkan buaya adalah penjaranya. Dasar kancil, jelas banyak akalnya. Hal yang mungkin dilakukan oleh kancil narkoba adalah melatih diri untuk bisa perintah buaya, tidak lain adalah menjadi pawang buaya. Bandar narkobapun akan berlatih menjadi pawang buaya profesional. Seperti cerita kancil, akhirnya buaya dikibulin Bandar narkoba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun