Mohon tunggu...
Erwin Widianto
Erwin Widianto Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selamat Hari Ayah, Pak.

12 November 2015   19:49 Diperbarui: 12 November 2015   19:58 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika saya diberi kesempatan untuk bertemu seseorang yang sangat saya rindukan, saya ingin sekali bertemu Bapak walau hanya beberapa detik untuk sekedar melepas kerinduan yang sudah saya timbun berbulan bulan. Bapak bagi saya adalah sosok yang tegas, memegang teguh prinsipnya, namun punya selera humor yang tinggi. Saya selalu merasa tidak pernah ada batasan dengan beliau, karena memang Bapak selalu mendidik saya dengan cara-cara yang menurut saya asik. Kami sama-sama suka bercanda, kerap kali kami mengobrolkan suatu hal yang absurd dan menurut saya tidak penting untuk dibahas. Tapi itulah Bapak, beliau selalu bersemangat membuat lelucon dan kekonyolan di rumah. Jadi sebenarnya, karakter saya dan Bapak itu tidak jauh berbeda, kita punya kesamaan dari sifat maupun perilaku, tapi bedanya mungkin beliau lebih sabar dan tenang saat menghadapi masalah. Satu lagi yang saya kagumi dari Bapak, beliau rela melakukan apa saja dengan ikhlas untuk menolong keluarga, saudara, bahkan temannya yang sedang membutuhkan bantuannya. Saya tidak habis pikir juga dengan jalan pikirannya yang satu ini, pernah saya melihat sendiri saat beliau baru saja membeli jaket kulit dengan uang tabungannya yang ia anggarkan sendiri untuk membeli barang tersebut. Seminggu kemudian, teman kantor beliau memintanya dengan alasan ingin sekali jaket kulit yang Bapak punya serta ingin membelinya. Dan apa yang beliau lakukan? Bapak memberikannya dengan ikhlas tanpa mau menerima bayaran. Ya, mungkin itu watak Bapak yang harus saya maklumi dan coba saya contoh. Oke, sekarang tentang hubungan Bapak dengan Ibu, saya ibaratkan mereka seperti Sopan Sofyan dan Widyawati, dimana-mana mereka selalu mesra, sering bercanda dan diam-diam masih suka ngedate tanpa sepengetahuan anaknya. Haha, saya pernah memergoki mereka dinner di sebuah resto pemancingan sambil bergandengan tangan memancing ikan, so sweet sekali. Semenjak ayah sakit, ibu selalu menjadi orang yang selalu sabar mengantar jemput ayah ke kantor. Seringkali saat pulang, mereka pacaran dulu di taman dekat rumah. Saya melihat mereka seperti pasangan yang baru pacaran, padahal sudah 26 tahun berlalu sejak pertama mereka menikah sampai sekarang, selalu terlihat begitu mesra setiap harinya.

 

Foto Ayah dan Ibu di pernikahan siapa gitu saya lupa.

 

Saat saya memutuskan untuk bekerja di luar pulau, tepatnya di Manado, Sulawesi Utara untuk pertama kalinya Bapak memberi pesan yang membuat saya sangat terharu saat itu. Saya akan mengingat pesan beliau dan hanya saya dan beliau yang tahu karena saya juga tak akan menuliskannya disini. Di Manado saya sering chat dengan Bapak, tapi seiring kesibukan saya disana, saya jarang membalas chat dari Bapak. Sesekali Bapak & Ibu telpon menanyakan kabar, atau sekedar hanya bertanya tentang pekerjaan. Saya senang masih bisa mendengar suara mereka walau kita dipisahkan jarak yang jauh. Justru yang paling sering menelpon saya pasti pacar karena kita menjalani LDR, haha sedikit curhat.

Pada suatu waktu, saya mendapat kabar dari Kakak saya jika Bapak sedang sakit, dan Kakak saya menyarankan saya untuk segera pulang. Waktu itu karena sedang ada pekerjaan, saya tidak bisa memenuhi permintaan kakak saya karena jarak yang jauh serta kesibukan di pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Saya hanya berpesan pada Kakak, untuk selalu merawat dan menjaga Bapak dengan sabar, tulus dan ikhlas. Sehari sebelum Bapak sakit, sebenarnya kami sempat chat di BBM, Bapak bertanya banyak hal termasuk hubungan saya dengan pacar. Yah, saya jawab saja santai tapi serius, tumben sekali beliau bertanya panjang lebar dan chat yang sangat panjang di obrolan. Banyak yang kami obrolkan saat itu sampai akhirnya chat terhenti karena saya harus lanjut untuk bekerja.

Seminggu berlalu, Kakak smengabari jika Bapak masuk rumah sakit dan sudah tidak mampu lagi untuk berbicara. Saat itu saya sangat panik dan bingung. Kakak memohon agar supaya saya pulang besok. Saya bingung, antara harus pulang menjenguk Bapak tapi dengan resiko yang mungkin saya terima untuk kehilangan pekerjaan, karena saat itu saya baru saja ditugaskan dari perusahaan untuk memimpin sebuah proyek dan saya yang harus bertanggung jawab untuk memulainya. Saat itu juga saya bilang pada atasan karena ini sangat mendadak dan menyangkut orangtua.

Malam itu juga saya memesan tiket untuk pulang dengan harapan bisa melihat keadaan Bapak di rumah sakit. Tiket sudah terbeli lewat online, saya berangkat dari Banara Sam Ratulangi dengan tujuan transit Surabaya menuju Jogja, kemudian naik kereta ke Solo. Malam itu juga saya tidak bisa tidur, masih terbayang-bayang kata-kata dari Kakak tentang kondisi Bapak di rumah sakit. Sampai akhirnya pagi pun tiba, saya bergegas berangkat ke bandara untuk pulang.

Sesampainya di Solo, saya tidak kuat melihat kondisi Bapak yang berbaring tak berdaya dan sulit untuk berbicara, tubuhnya menjadi sangat kurus dan raut wajahnya sudah berbeda. Dalam hati saya menangis melihat kondisi Bapak yang seperti ini, saya hanya bisa berdoa yang terbaik. Saya melihat raut wajah sedih Ibu di samping Ayah. Ibu yang selalu setia mendampingi Bapak berhari hari tidak tidur.

 

Saat itu dokter menyarankan agar Bapak cuci darah, saya serta keluarga mengiyakan semua penanganan medis yang terbaik untuk Bapak agar segera sembuh. Saya menunggu disamping Bapak saat cuci darah, bersama dengan pacar saya yang selalu mendampingi juga selama menjaga Bapak di rumah sakit. Tepat pukul enam petang, kondisi Ayah langsung menurun, dokter dan perawat melakukan penanganan, saat itu keluarga sudah berkumpul, hanya Kakak saya yang tidak ada di ruang ICU karena sedang dalam perjalanan. Hal yang saya takutkan akhirnya terjadi, Dokter menghampiri keluarga saya dan mengatakan Bapak sudah tidak ada, karena detak jantungnya berhenti lebih dari 10 detik. Hati saya langsung hancur, air mata keluar, tubuh pun lemas. Saya sudah tidak tau apa yang harus saya lakukan, seketika itu juga Kakak masuk ruangan. Kemudian, "Tunggu, ini sungguh aneh, jantung Bapak berdetak lagi" kata dokter kepada seluruh keluarga. Saya langsung sujud syukur, alhamdulilah. Tuhan memberi keajaiban agar keluarga kami diberi kesempatan untuk dipertemukan lagi di rumah. Saya sangat bersyukur dan bahagia saat itu. Saya anggap ini keajaiban dari Tuhan, tepatnya mukjizat. Malam setelah kejadian itu Bapak masih tak sadarkan diri dan belum bisa berbicara. Saya membacakan ayat kursi dan doa-doa, memohon pada Allah agar Bapak diberi kesembuhan. Selesai berdoa, saya membisikan sebuah cerita ke telinga Bapak, berharap beliau mendengar. Saya curhat semua yang saya rasakan saat itu dan semua ungkapan rasa sayang saya pada beliau. Saya terkejut saat melihat air mata Bapak keluar selesai saya bercerita. Subhanallah, mungkin Bapak mendengar apa yang saya katakan walaupun beliau sedang tak sadarkan diri. Saya lanjut berdoa lagi, tapi dokter menyuruh saya bersama keluarga untuk berkumpul. Dokter menjelaskan bahwa semua organ dalam tubuh Bapak sudah tidak berfungsi. Mendengar kata dokter, air mata saya keluar lagi, ibu dan Kakak juga. Dokter berkata hanya bisa berusaha sebaik baiknya dan menyarankan keluarga terus berdoa untuk keajaiban yang ke 2, karena kejadian petang tadi saat jantung Bapak berhenti 10 detik itu kata Dokter sudah diluar nalar medis. Oke, saya masih yakin Tuhan akan mendengar doa saya dan keluarga agar Bapak bisa bertahan dan berkumpul lagi dengan keluarga. Menit demi menit berlalu, saya beserta keluarga masih tetap berdoa dan dengan penuh keyakinan agar Bapak segera sadar. Tepat pukul 3 malam, saya beserta keluarga berkumpul di samping Bapak, saya melihat sendiri detak jantung Bapak semakin melemah lewat alat kedokteran yang bahkan sampai sekarang saya tidak tahu namanya, di situ saya melihat angka 121, 110, 60, 50, dan terus menurun. Detik demi detik saya lalui dengan berdoa dalam hati, sampai pada akhirnya angka tersebut sampai ke 0. "Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un, Bapak sudah tidak ada" kata dokter sambil memandangi saya serta keluarga. Seketika tangis keluarga pecah, saya juga tidak dapat membendung tangis haru melihat kepergian Bapak. Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un Sabtu, 25 Juli 2015 pukul 03.00 WIB Bapak menghembuskan nafas terakhir. Saya sangat terpukul dengan kepergian Bapak. Sejak pulang dari Manado dan bertemu Bapak dalam kondisi sakit, saya belum pernah mendengar 1 patah kata pun terucap dari mulut beliau. Saya sangat menyesal karena belum sempat membahagiakan Ayah dan pasti tak akan dapat membalas budi semua pengorbanan dan segala kebaikan serta apa yang sudah beliau berikan. Saya yakin Bapak adalah malaikat yang dikirim Tuhan dari surga turun ke bumi untuk menjaga kami sekeluarga. Tenang disana pak, Tuhan telah memberi jalan terbaik untuk Bapak melawan penyakit. Doa kami sekeluarga menyertaimu. Selamat Hari Ayah, Pak.

 

Makam Bapak.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun