Setiap hari, sadar atau tidak, kita menyerahkan sebagian hidup kita ke dunia digital. Mulai dari memesan makan siang, membayar tagihan, berinteraksi dengan kolega, hingga mencari informasi untuk tugas kuliah. Semua terasa lebih mudah dan cepat. Namun, di balik setiap klik dan gesekan layar, ada risiko yang mengintai: lautan berita bohong (hoax), jebakan penipuan (phishing), dan ancaman terhadap data pribadi kita. Di tengah rimba informasi ini, literasi digital telah berevolusi dari sekadar kecakapan teknis menjadi tameng utama untuk bertahan hidup.
Banyak yang masih menganggap literasi digital sebatas mahir mengoperasikan gawai atau aktif di media sosial. Anggapan ini, terus terang, keliru dan cukup berbahaya. Literasi digital yang sesungguhnya jauh lebih dalam: ia adalah kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi secara kritis menggunakan teknologi (American Library Association, 2013). Intinya, seseorang yang literat secara digital tidak hanya bisa memakai teknologi, tetapi juga mampu berpikir kritis saat menggunakannya. Kemampuan inilah yang menjadi benteng pertahanan pertama melawan tsunami hoax. Berita bohong sengaja dirancang untuk menyentuh emosi kita---membuat kita marah, takut, atau gembira---sehingga nalar kritis kita lumpuh dan jari kita gatal untuk segera membagikannya. Fakta ini diperkuat oleh riset di jurnal Science yang menemukan bahwa kebohongan menyebar jauh lebih cepat dan luas daripada kebenaran, karena seringkali dikemas lebih sensasional (Vosoughi, Roy, & Aral, 2018). Tanpa kemampuan menyaring, kita tanpa sadar menjadi penyebar racun digital itu sendiri.
Jika hoax menyerang nalar kita, maka phishing mengincar aset digital kita yang paling berharga: data pribadi. Modusnya licik dan seringkali sangat meyakinkan. Bayangkan Anda menerima email---seolah-olah dari bank atau e-commerce langganan---yang mendesak Anda mengganti kata sandi "sekarang juga" karena ada aktivitas mencurigakan. Tampilannya profesional, bahasanya resmi. Tanpa curiga, Anda mengklik tautan yang tersedia dan mengisi data Anda. Selesai. Dalam hitungan detik, akses akun atau bahkan data finansial Anda kini berada di tangan penipu. Inilah mengapa literasi digital juga berarti membangun kewaspadaan dan kebiasaan digital yang sehat. Mengenali ciri-ciri email penipuan, selalu memeriksa alamat pengirim, membiasakan otentikasi dua faktor (2FA), dan berpikir dua kali sebelum membagikan informasi adalah fondasi keamanan siber personal yang tidak bisa ditawar lagi (Jones, et al., 2021).
Lalu, siapa yang bertanggung jawab membekali masyarakat dengan perisai ini? Jawabannya ada di pundak kita semua, terutama institusi pendidikan. Literasi digital tidak boleh lagi dianggap sebagai mata pelajaran "tambahan" atau sekadar tugas guru TIK. Ia harus meresap ke dalam setiap mata pelajaran. Pelajaran Bahasa Indonesia bisa melatih siswa menganalisis judul berita yang provokatif. Pelajaran Sosiologi bisa membahas dampak sosial dari polarisasi akibat disinformasi. Di kampus-kampus, termasuk di tempat saya mengabdi, Universitas Islam Kadiri, membekali mahasiswa dengan keterampilan ini sama pentingnya dengan mengajarkan teori-teori inti di bidang mereka. Ini sejalan dengan pandangan global yang diusung UNESCO (2018), bahwa membekali warga negara dengan Media and Information Literacy (MIL) adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang partisipatif dan kritis.
Pada akhirnya, dunia digital adalah cerminan dunia nyata: penuh dengan peluang sekaligus jebakan. Literasi digital adalah bekal kita untuk memaksimalkan peluang tersebut sambil lihai menghindari setiap jebakan yang ada. Ini bukan sekadar tanggung jawab perorangan, melainkan sebuah gerakan kolektif yang harus digalakkan oleh keluarga, sekolah, dan pemerintah. Sebab, masyarakat yang cerdas secara digital adalah kunci menuju Indonesia yang tidak hanya maju teknologinya, tetapi juga matang dalam berpikir dan bijak dalam bertindak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI