Di sejumlah daerah, ternyata masih banyak sekolah dipaksa oknum dinas setempat kembali melanjutkan kurikulum 2013 (Kurtilas) tersebut lewat surat pernyaaan. Padahal aturan sudah menegaskan, sekolah yang baru menjalankan Kurtilas selama satu semester, wajib menggunakan kembali KTSP.
Apa yang mendasari oknum Dinas Pendidikan setempat berani melanggar ketentuan tersebut? Jawabannya tidak ada yang lain kecuali besaran Fee yang diterima mereka dari proses penjualan buku paket.
Memang, pengalaman saya selama ini, sekolah yang berlangganan buku paket dari penerbit tertentu biasanya akan mendapatkan fee yang lumayan besar. Taruhlah sekolah menggunakan Buku Sekolah Elektronik (BSE) untuk dipinjamkan pada siswa selama tahun ajaran berjalan, fee yang didapat sekolah kisarannya tetap tak berubah, antara 20 sampai 30% dari harga buku.
Ambil contoh sekolah saya yang memilki siswa 400 siswa. Jika Harga Eceran buku rata-rata 10 ribu per eksemplar dan sekolah wajib menyediakan 6 buku paket untuk setiap siswa, maka sekolah harus mengeluarkan uang dari dana BOS sebesar 24 juta/tahun. Fee yang didapat sekolah 7,2 juta. Itu baru untuk enam mata pelajaran pokok. Bagaimana jika sekolah juga berlangganan buku paket lain diluar buku BSE, misalnya Bahasa Arab, Al-Islam, Qur’an Hadits, yang harga per eksemplarnya rata-rata 25 ribu rupiah? Tentu pemasukan sekolah dari Fee ini semakin besar. Cukuplah untuk meringankan biaya operasional sekolah atau meningkatkan kesejahteraan guru.
Khusus di sekolah saya, buku BSE dulu berlaku selama 5 tahun. Keputusan ini diambil untuk menyiasati ulah beberapa penerbit yang selalu mengatakan buku BSE yang kita pesan untuk menggantikan buku yang rusak atau hilang tidak diterbitkan lagi. Alasan yang canggih untuk memaksa sekolah selalu membeli buku tiap tahun ajaran baru. Namun sekolah kami lebih menyukai menggandakan buku yang lama daripada membeli buku baru yang kerap menguras keuangan sekolah tiap tahun.
Kembali pada Kurtilas, kenapa banyak daerah melalui oknum dinas pendidikan setempat memaksa sekolah-sekolah untuk kembali melanjutkan kurtilas walau sebenarnya sekolah mengakui belum siap? Sekali lagi, soal fee ini yang menjadi penyebabnya. Dari penjelasan di atas, kita tahu kalau selama ini fee hasil penjualan buku dikelola oleh sekolah, dengan berlakunya Kurtilas, semua proses pembelian buku paket kurtilas dari jenjang dasar hingga menengah, semuanya langsung dikendalikan oleh dinas pendidikan setempat.
Bayangkan, semua fee yang selama ini didapat sekolah “menumpuk” di dinas. Bukan fee satu sekolah, tapi fee semua sekolah dari jenjang dasar hingga menengah. Luar biasa besar besar penghasilan yang didapat oknum dinas pendidikan tersebut dari hasil memaksa sekolah kembali melanjutkan Kurtilas.
Memang tak semua oknum dinas pendidikan bermain soal buku paket ini, namun kemungkinan besar arahnya memang ke sana. Tinggal pembuktian saja di wilayah masing-masing. Satu, apakah keputusan kembali menggunakan Kurtilas tadi murni keinginan sekolah? Dua, apakah benar pembelian buku paket Kurtilas dikelola melalui dinas pendidikan setempat? Jika pertanyaan satu jawabannya bukan keinginan sekolah, maka jawaban kedua adalah benarlah “pemaksaan” itu faktor fee yang hilang.
Yang perlu dilakukan sekarang hanyalah keberanian dari sekolah untuk memprotes kebijakan yang tidak bersahabat tadi. Kebijakan yang diambil lewat paksaan tidak akan menghasilkan kebikan. Jika sekolah tak punya keberanian dengan berbagai alasan, pemerhati pendidikan setempat, jurnalis lokal, LSM peduli pendidikan, termasuk wali murid harus berani menyuarakan penolakan ini dengan santun. Sampaikan semua keluhan tersebut pada pejabat yang setingkat diatasnya. Atau lapor pada anggota legislatif yang menangani masalah pendidikan. Jika semuanya bungkam, maka kehancuran dunia pendidikan berada diambang mata.
Untuk daerah saya, Alhamdulillah, telah terbit surat dari dinas pendidikan agar sekolah kembali menggunakan kurikulum sebelumnya. Selain menyadari kurtilas belum cocok diterapkan sebelum dievaluasi total, mereka tak ingin dituding “makar” terhadap keputusan yang sudah diambil atasan tertinggi mereka, yakni Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah.