Mohon tunggu...
Elsa Ulima
Elsa Ulima Mohon Tunggu... Mahasiswi

Hobi ngoding

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perjuangan Hak Buruh hingga Penganiayaan Terhadap Marsinah tahun 1993

2 Maret 2025   23:55 Diperbarui: 2 Maret 2025   17:26 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perjuangan Hak Buruh ini bermula pada tahun 1993, pada waktu itu, terdapat para pekerja dari PT Catur Putra Surya, yang salah satu pekerjanya adalah Marsinah, melakukan aksi mogok kerja. Hal ini dilakukan oleh mereka dikarenakan adanya tuntutan kenaikan upah sesuai dengan keputusan Gubernur Jawa Timur pada saat itu. Keputusan ini menetapkan kenaikan upah minimum yaitu sebesar 20%. Sebelum aksi mogok ini terjadi, Marsinah telah aktif dalam organisasi buruh dan juga beberapa kali mengkritik kebijakan perusahaan yang tidak berpihak pada pekerja. Senin, 3 Mei 1993, para buruh PT Catur Putra Surya sejumlah  13 orang yang terlibat dalam aksi mogok sebelumnya dipanggil oleh pihak militer. Mereka diminta untuk mengundurkan diri secara paksa tetapi Marsinah tetap berusaha mencari keadilan dengan menolak keputusan dari pihak militer tersebut dan ia berencana membawa kasus ini ke tingkat yang lebih tinggi.

Adanya tuntutan pada gerakan ini seperti kenaikan upah sesuai keputusan pemerintah yaitu Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 50 Tahun 1992 tentang Upah Minimum Regional (UMR). Kedua, penghapusan  jam kerja yang dinilai tidak adil karena para buruh menginginkan jam kerja yang manusiawi dan menolak lembur paksa tanpa kompensasi yang layak. Ketiga, penghapusan perlakuan intimidasi terhadap buruh dari tekanan para manajemen dan aparat yang terkait. Terakhir perbaikan kondisi kerja, para buruh meminta kondisi  yang lebih baik seperti hak cuti dan tunjangan kesehatan.

Rabu, 5 Mei 1993 sebanyak 13 buruh, termasuk Marsinah dipanggil untuk datang ke kantor Kodim 0817 Sidoarjo untuk diperiksa. Pada malam di hari yang sama, Marsinah tiba-tiba menghilang dan tidak diketahui keberadaanya. Pada Kamis, 6 Mei 1993, sejumlah buruh yang ditahan mengalami beberapa intimidasi dan pemaksaan untuk mengundurkan diri.  Kemudian di  hari Sabtu, 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di sebuah gubuk di daerah Dusun Jegong, Nganjuk. Dia ditemukan di sekitar 90 km dari tempat ia bekerja. Hasil autopsi menunjukkan bahwa Marsinah mengalami penyiksaan berat seperti pukulan benda tumpul, pemerkosaan dan adanya luka-luka akibat penyiksaan.

Setelah kasus tewasnya Marsinah, pihak kepolisian melakukan penyelidikan dan menangkap beberapa petinggi PT Catur Putra Surya dan menuduh mereka sebagai dalang dari pembunuhan Marsinah. Namun, beberapa beberapa pihak mengasumsikan bahwa pembunuhan ini terencana dengan dugaan  melibatkan aparat militer yang dilakukan  untuk membungkam aksi para buruh yang semakin kuat pada zaman orde baru. Pada tahun 1994, Mahkamah Agung membebaskan para terdakwa karena mereka dinilai tidak bersalah dan kurangnya bukti yang cukup kuat untuk menahan mereka. HIngga saat ini, pelaku utama atas terbunuhnya Marsinah masih belum terungkap dan kasus ini menjadi salah satu misteri hukum di Indonesia yang masih belum terpecahkan.

Adapun faktor-faktor pendukung terjadinya gerakan sosial yang dilakukan oleh para buruh, seperti ketidakpuasan upah para buruh di mana upah para buruh tersebut dinilai sangat rendah sehingga mereka menuntut kenaikan upah. Pada PT Catur Putra Surya, di tempat Marsinah bekerja, mereka menuntut kepada perusahaan untuk menaikkan upah mereka dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari dan kenaikan tersebut sudah menjadi kebijakan pemerintah pada saat itu. Banyak perusahaan yang menghindari kebijakan itu, bahkan perusahaan yang menolak akan melakukan PHK atau intimidasi kepada para buruh yang menuntut haknya.

Pendukung yang kedua yaitu Rezim Otoriter Orde Baru yang dinilai represif, karena pemerintah lebih berpihak pada pengusaha atau pemilik modal dibandingkan kesejahteraan para buruh. Organisasi buruh independen sulit berkembang diakibatkan karena hanya sebagian serikat buruh yang dikendalikan oleh negara yang diizinkan beroperasi.

Faktor ketiga yaitu adanya rasa solidaritas dan kolektivitas para buruh, karena adanya solidaritas dapat membantu memperkuat aksi protes dan mogok kerja. Sosok Marsinah dianggap paling berani menghadapi kejadian ketidakadilan, dan ketika teman seperjuangan dipanggil ke Kodim, ia tetap berusaha memperjuangkan hak-hak mereka. Dan faktor lainnya yaitu adanya pihak berwenang yang tidak menjalankan hukum yang semestinya berlaku dan sering terlibat untuk menekan aksi mogok kerja dan tuntutan para buruh.

Adapun aktor dan pihak yang terlibat dalam kasus ini, Marsinah sebagai  aktor yang aktif dalam menyuarakan tuntutan dan memperjuangkan kesejahteraan  hak-hak buruh hingga menjadi target penculikan dan pembunuhan setelah aksi mogok kerja, dan beberapa buruh yang ikut menjadi penyokong dalam aksi mogok kerja. Pihak penegak hukum yaitu polisi yang diduga melakukan rekayasa kasus yang menargetkan pihak PT Catur Putra Surya tetapi akhirnya para terdakwa yaitu staf dan direktur utama  PT Catur Putra Surya akhirnya dibebaskan dari tuntutan akibat kurangnya bukti yang cukup kuat untuk menjerat mereka.

Aktor lain seperti pihak aparat militer yang dispekulasikan menjadi dalang pembunuhan, penyiksaan serta pemerkosaan terhadap Marsinah. Namun, mereka tidak pernah diusut secara transparan, dan dugaan terdapat sejumlah buruh yang telah melakukan aksi mogok dipanggil, diperiksa, dan dinterogasi dengan perlakuan kekerasan untuk memaksa mereka mengundurkan diri. Hal ini diperkuat lagi dengan sistem pemerintahan orde baru di bawah Presiden Soeharto yang dikenal represif terhadap gerakan buruh dan pro-investor.

Kasus Marsinah memiliki dampak yang luas terhadap gerakan buruh dan kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia. Setelah reformasi, gerakan buruh menjadi lebih diakui dengan semakin banyaknya serikat buruh independen yang aktif memperjuangkan hak pekerja, termasuk melalui mogok kerja dan demonstrasi. Kasus ini juga menjadi simbol perjuangan hak buruh, diperingati setiap 8 Mei sebagai Hari Marsinah oleh kelompok buruh dan aktivis HAM. Selain itu, tekanan terhadap pemerintah untuk mengusut kasus pelanggaran HAM semakin meningkat, meskipun hingga kini belum ada perkembangan signifikan dalam penyelesaian kasus ini. Disisi lain, beberapa perusahaan mulai lebih terbuka terhadap dialog dengan pekerja guna menghindari konflik yang dapat mencoreng reputasi mereka. Kasus Marsinah juga berpengaruh pada gerakan perempuan dalam dunia kerja, memperlihatkan bahwa perempuan buruh dapat menjadi pemimpin perjuangan meskipun penuh risiko. Organisasi buruh perempuan kian semakin berkembang, memperjuangkan hak-hak seperti cuti hamil, kesetaraan upah, dan perlindungan dari pelecehan di tempat kerja. Reformasi dalam kebijakan ketenagakerjaan juga terjadi, dengan lahirnya UU No. 21 Tahun 2000 yang memberikan kebebasan bagi buruh untuk membentuk serikat secara mandiri, serta meningkatnya perhatian terhadap perlindungan buruh dalam aspek upah minimum dan perlindungan dari intimidasi perusahaan. Meskipun masih banyak tantangan, kasus Marsinah tetap menjadi simbol penting dalam perjuangan hak buruh di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun