"Nangkep air ujan."
"Pake tangan?"
"Iya, dan toples."
"Terus buat apaan?"
Sinyo tidak membalasnya. Ia beringsut tanpa pamit, dan pergi menjauh dari orang di warung ini. Hujan masih deras mengiringi kepergiannya, juga petir menyala berulang-ulang diselingi bunyi menggelegar sekali-kali. Sinyo  pun tiba di rumah sewa di ujung gang buntu.
Tiga toples itu ia letakkan hati-hati di rak yang segi empat seukuran luas kamar sewanya, kecuali di muka pintu. Rak ini rupanya sudah padat oleh ratusan toples yang tertata. Toples air hujan yang ia buru dari beberapa lokasi di kota ini.
Air hujan hasil buruannya disimpan sangat hati-hati. Ia memandangnya sebagai benda yang sangat keramat. Seolah air hujan yang ia tempatkan dengan layak di toples tersebut bisa menghalau keinginan  banjir untuk datang menenggelamkan kampung di mana ia tempati.
Ajaibnya kampung ini taksekalipun mengalami musibah banjir sejak ia rajin memburu air hujan. Padahal sebelumnya selalu kebanjiran hingga sedada ukuran orang dewasa.
Dari tetangga yang mengetahui kebiasaannya ini, dan dipandang mujarab, maka tersebar kemudian pada orang-orang yang berada di lokasi lain.
Mereka datang padanya, dan membeli toples itu barang satu atau dua toples. Entah kebetulan atau tidak, mereka tidak kebanjiran lagi pemukimannya.
Sebab itu banyak yang percaya akhirnya pada Sinyo. Pelan-pelan toples, dan Sinyo menjadi terkenal sebagai pemburu hujan yang bisa menyelamatkan banjir di suatu tempat.