Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohon Angker di Tengah Sawah

13 Oktober 2019   18:58 Diperbarui: 16 Oktober 2019   19:25 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desa yang di belah aliran sungai itu dikenal subur. Sawah saban hari tidak pernah kurang untuk diairi. Tak heran panen padi tiap tahun nyaris tiga kali. Dan, ini sangat menguntungkan bagi kemakmuran warga desa itu.

Terutama para buruh tani, yakni warga desa yang dulunya  menjadi penggarap, kini sudah punya sawah sendiri, hasil upah panen padi dari majikannya yang ditabung selama beberapa waktu lamanya.

Dapi, salah satunya. Ia pekerja keras. Boleh dibilang petani tulen. Dari 10 tahun menjadi buruh tani, kini ia benar-benar petani yang sudah mendapatkan hasil panen dari sawahnya sendiri. Selama waktu itu,ia bekerja pada sawah milik haji Torib. Tak tanggung-tanggung sawah haji Torib  yang digarap Davi, satu hektar luasnya ketika itu.

Jadi harap dimaklum, postur tubuhnya Davi tinggi, juga kekar.  Kulitnya, mulai dari wajah hingga kaki cendrung legam, mirip orang afrika sana. Kalau tertawa di waktu malam, tanpa cahaya, hanya deretan giginya saja yang terlihat jelas. Walau begitu ia ringan tangan untuk sigap membantu siapapun yang membutuhkan tenaganya di sawah.

Termasuk Kartam, yang paling sering minta bantuan tenaga Dapi. Meski rajin, Kartam seringkali dimarahi haji Torib. Karena sawah yang digarapnya tidak sebaik yang digarap Dapi ketika masih menjadi penggarap sawah haji itu.

"Saya kesal kang, sama pak Haji.  Marah-marah terus sama saya. Paling sering soal air. Sawah kurang airlah, sawah sedikit panennya. Padahal kan posisi sawahnya itu tidak sejajar dengan jalan air. Lebih tinggi gitu kan?"Kata Kartam pada Dapi.

"Nah itu masalahnya sama dengan saya. Bedanya tidak marah, cuma nyuruh saja supaya jalan air ke sawah orang lain, di belokkan ke miliknya, Tengah malam  pula. Ini kan tidak benar juga. Tapi mau bagaimana lagi. Kita kan buruh. Untung yang kamu garap cuma setengah hektar saja. Coba seperti saya, bakal kewalahan itu,"timpal Dapi.

Sampai Dapi punya sawah sendiri pun, Kartam masih saja minta bantuan Dapi. Padahal letak sawahnya tidak berdekatan. Paling tidak dibatasi satu lahan sawah milik desa.

"Kang, nanti tengah malam saya diminta ke sawah, Itu soal aliran air."

"O ya sudah ikuti saja, mungkin mau mengontrol jalan air  kesawahnya."

"Ikut kang, saya kan tidak pernah sebelumnya. Lagi pula sawahnya itu dekat dengan pohon mangga yang angker itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun