Mohon tunggu...
Ernisa Nur
Ernisa Nur Mohon Tunggu... mahasiswi

halo

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menemukan Charles Tilly di Tengah Rasa Tidak Percaya

13 Oktober 2025   08:55 Diperbarui: 13 Oktober 2025   08:54 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu terakhir, saya sering memikirkan satu hal yang terdengar sederhana, tetapi sebenarnya rumit: kepercayaan. Terutama ketika membaca berita atau melihat linimasa media sosial yang dipenuhi isu politik dan kasus korupsi yang seolah tidak pernah ada habisnya.

Siang itu, saya duduk di kantin fakultas. Kantin tampak cukup ramai, dengan meja-meja bundar yang dipenuhi mahasiswa yang asyik mengobrol atau membuka laptop. Suasananya hangat dan akrab, khas tempat berkumpul setelah jam kuliah berakhir. Di sudut kantin, beberapa jajanan pasar tersaji di atas meja kecil, sementara aroma kopi instan samar tercium di udara. Saya dan beberapa teman duduk santai, menikmati waktu kosong di sela padatnya kegiatan perkuliahan.

Kurang lebih seperti ini: salah satu teman saya, sambil menatap layar ponselnya, berkata pelan, "Lucu ya, setiap kali ada kasus korupsi baru, ujung-ujungnya selalu sama---ramai sebentar, lalu hilang begitu saja." Nada suaranya datar, tapi jelas ada rasa lelah di baliknya. Kami spontan saling pandang, lalu tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena sudah terlalu sering mendengar hal yang sama.

Percakapan itu kemudian melebar. Dari berita korupsi, kami beralih membahas soal harga barang yang terus naik, bantuan sosial yang tidak merata, hingga kebijakan pemerintah yang sering kali terasa tidak berpihak pada masyarakat kecil. Di sela obrolan itu, saya menyadari sesuatu: mungkin kami bukan apatis, hanya semakin sulit percaya.

Dan di situlah saya merasa pemikiran Charles Tilly mulai masuk akal. Dalam teorinya tentang contentious politics (politik kontestasi), Tilly menjelaskan bahwa politik tidak hanya hadir dalam bentuk lembaga resmi atau aksi besar di jalanan. Ia justru muncul dari ketegangan antara rakyat dan kekuasaan---dari klaim, tuntutan, dan kekecewaan yang diabaikan oleh pihak berwenang. Ketika sekelompok orang menuntut keadilan atau mengekspresikan ketidakpuasan terhadap kekuasaan, di situlah politik sebenarnya sedang berlangsung.

Apa yang terjadi di sekitar saya adalah wujud nyata dari teori itu. Ketika masyarakat, terutama anak muda, mulai kehilangan kepercayaan, bukan berarti mereka berhenti peduli. Mereka hanya mencari cara lain untuk bersuara. Tidak selalu lewat demonstrasi besar, tetapi melalui tulisan, unggahan media sosial, diskusi kecil di kafe atau kantin, hingga bentuk-bentuk perlawanan simbolik lainnya.

Saya melihatnya sendiri. Banyak teman saya kini aktif membuat konten edukatif di TikTok, menulis opini di blog, atau sekadar membagikan infografik di Instagram. Semua itu, dalam kacamata Tilly, bisa disebut sebagai bentuk politics in everyday life---politik keseharian yang tumbuh dari kesadaran bersama, bukan dari perebutan kekuasaan semata.

Dari percakapan siang itu, saya belajar bahwa rasa kecewa tidak selalu berarti menyerah. Kadang justru dari rasa kecewa itulah muncul keinginan untuk memperbaiki sesuatu. Tilly membuat saya memahami bahwa ketegangan sosial adalah tanda bahwa masyarakat masih hidup, masih berpikir, dan masih berani berharap.

Mungkin kami hanya ingin jujur bahwa kami lelah. Tapi di balik kelelahan itu, masih ada semangat kecil untuk terus peduli, untuk terus mempertanyakan, dan untuk tidak diam saja. Dan bagi saya, itu sudah cukup menjadi awal dari perubahan.

Kepercayaan bisa hilang, tapi kesadaran tidak. Selama masih ada obrolan sederhana di meja kantin seperti siang itu, saya percaya---harapan belum 

benar-benar padam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun