Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Pernikahan Kandas

25 Juli 2012   04:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13431884881316923515

Pada suatu malam, seseorang datang ke rumah mengeluhkan penyiksaan fisik maupun psikis oleh suaminya. Ia memiliki tiga putri yang masih kecil, salah satu diantaranya masih bayi, dan yang paling sulung duduk di kelas 2 SD. Sebuah keputusan berat akhirnya ia ambil, ia memilih bercerai, dengan resiko ia harus menafkahi ketiga putrinya seorang diri, karena disamping berwatak kejam sang suami juga telah berpaling kepada perempuan lain. Pun tidak mudah baginya untuk pulang ke rumah orang tua, sebagai manusia dewasa, ia tak ingin melemparkan beban, ia terbiasa mengambil tanggung jawab. Sebagai orang luar, dulu saya melihat mereka adalah keluarga yang sakinah. Keduanya nampak taat menjalankan agama. Apalagi sang suami, asal Aceh memiliki latar religius dan sang istri orang Jawa, memiliki kultur religius pula. Keduanya pun berpendidikan tinggi. Tetapi soal rumah tangga adalah wilayah yang privat yang tak mudah ditembus dan dibaca oleh orang luar. Tahun berganti, saya mendapat kabar tentangnya. Sang perempuan telah menjadi pengusaha yang sukses, sembari membesarkan semua putrinya seorang diri. Sementara sang mantan suami kemudian bercerai lagi dari istri baru yang juga tak tahan dengan watak buruk si suami.

Diantara Pencerahan dan Masuk Lorong Kegelapan Pasca perceraian, tidak semua dapat lolos menuju pencerahan, dan meyakini bahwa bercerai adalah pintu keluar yang terbaik demi menyelamatkan diri secara fisik dan psikis, dan berhenti saling menyakiti. Kenangan-kenangan indah dan pedih silih berganti membayangi. Untuk melupakan seluruh kebersamaan dan cinta yang pernah hadir di hati pun tak semudah membalikan telapak tangan. Terlebih ketika anak-anak yang masih butuh perhatian telah hadir diantara keduanya. Benar di dunia ini orang-orang yang mengalami perceraian rumah tangga itu banyak sekali, dan bahwa perceraian bukanlah peristiwa langka. Perceraian bisa dialami oleh siapa saja, bahkan menimpa orang "baik-baik". Bagi orang yang mengalaminya, ini seakan sebuah "kiamat, melayang seperti pohon yang tercerabut dari akar. Bingung memformat ulang, hati dan juga status yang baru, dan sulit menerima kenyataan yang ada. Sekalipun mereka mengerti bahwa perceraian adalah jalan keluar sebagai pemutus rantai masalah, tak urung akan sangat mengguncang perasaan yang berkepanjangan dan menjadi peristiwa yang sangat traumatis yang sangat menekan perasaan. Socrates berkata, "Jika istrimu berwatak buruk, engkau akan jadi filosof". Sepertinya itu kalimat yang tak mudah dijalani bagi orang yang menjalani prosesnya. Alih-alih mendapat pencerahan, ia malah memasuki lorong kegelapan. Hanya hati yang mampu menangkap cahaya saja yang mampu melalui lorongnya, dan mendobrak labirin perasaan. Seruling Bambu Membayangkan perceraian yang dihadapi oleh saudara dan sahabat terkasih, saya menjadi teringat pada sebuah larik puisi Matsnawi 1 dari Jalaluddin Rumi :

Dengar lagu seruling bambu menyampaikan kisah pilu perpisahan.

Tuturnya,

"Sejak aku berpisah dengan asal usulku, pokok bambu yang rimbun, ratapku membuat lelaki dan perempuan mengaduh.

Kuingin sebuah dada koyak sebab terpisah jauh dari orang yang dicintai.

Dengan demikian dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta.

.............................................

Rahasia laguku tidak jauh dari asal-usulku, ratapku.

Namun adakah ada telinga yang mendengar dan mata yang melihat?

Tubuh tak berdinding roh, dan roh pun tak berdinding tubuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun