Setiap orang pasti punya suara dimasa kecil yang melekat di hati dan ingatan...bagi sebagian orang, mungkin berkata suara dan tawa ibu saat di dapur, bagaikan derit sepeda disore hari...tapi bagiku suara masa kecil itu bagaikan dentuman ombak...mesin perahu untuk mencari ikan di dini hari...dan desah angin laut yang mengantar ayah dan abang mencari ikan sebelum fajar tiba.
Aku lahir dari keluarga sederhana...dan kami tidak punya rumah mewah, toko besar ataupun tanah luas...kami hanya punya perahu kecil, alat pancing dan harapan yang besar pada laut yang luas...
Ayah dan abang ku adalah seorang nelayan...setiap hari mereka bertaruh nyawa dengan apa yang mereka hadapi ditengah laut demi satu hal: agar keluarganya bisa makan.
Mereka bangun setiap pukul empat pagi sebelum ayam berkokok...dengan mata yang masih mengantuk dan udarah yang begitu dingin...mereka berangkat menuju pantai... kadang mereka hanya membawa senter, tali pancing, kopi hitam dalam botol kecil, dan sisanya adalah keberanian.
Mereka tidak pernah tahu kapan badai akan datang...dan kapan cuaca bersahabat, biasanya mereka pulang jam 11 siang...dengan wajah lemes terbakar matahari, tangan mereka penuh goresan, tangan mereka keras akibat tali pancing.
 Dan kadang pulang tak membawa hasil apa-apa...tapi satu hal yang tidak pernah pudar dari mereka saat pulang yaitu senyuman yang tak pernah minta dikasihani.Â
Namun semua tak segampang itu saat mereka masih ditengah laut...badai datang secara tiba-tiba...kadang perahu mereka terbalik karena badai besar...kadang mesin mati karena air laut masuk.
Dan yang paling menyakitkan sekalian menyedihkan itu...ketika mereka hanya bisa terombang ambil ditengah laut dengan keadaan perahu terbalik mereka duduk diatas perahu yang terbalik dengan keadaan pasrah...dan hanya menunggu satu harapan orang-orang yang sadar mereka belum pulang, lalu berani mencari mereka.
Di rumah kami...menatap laut seperti menatap nasib...ibu hanya bisa berdoa sedang aku hanya bisa berdiri didepan pintu dan bertanya didalam hati: apakah aku masih bisa melihat mereka? Masihkah aku bisa memeluk ayah dan bercanda dengan abang?
Dan ketika mereka akhirnya kembali dengan selamat dalam keadaan basah kuyup, dingin, dengan wajah letih dan tak ada yang diucapkan...tapi aku tahu bahwa: cinta itu sedang berbicara keras...