Meski ada kelompok yang mengatasnamakan "mahasiswa" mungkin telah ditumpangi oleh kepentingan tertentu.
Bukankah terutama kalangan mahasiswa diajari dan dilatih untuk berpikir kritis?
Jika ada segelintir mahasiswa lebih memilih untuk mengurungkan niatnya beraksi unjuk rasa tidak berarti mereka sudah dikali nol sebagai mahasiswa.
Itu hanya soal bagaimana cara menyalurkan "pikiran panas." Mereka tidak mengalami insomnia pikiran. Mereka baik-baik saja.
Tanggapan yang berbeda-beda soal kenaikan harga BBM. "Jangan demo bikin susah rakyat (rakyat yang mana?). Jalanan macet total, pengguna jalan ingin kerja mencari nafkah." Seribu macam kata-kata meluncur deras dari mereka.
Yang lain menanggapinya. "Demo mahasiswa cuma sebentar. Kalau harga BBM naik itu dibawa seumur hidup. Masyarakat yang rasakan akibatnya." Begitulah cara berpikir orang "awam" sangat sederhana.
Ungkapan sederhana tetapi acapkali menohok terjadi saat jalanan dipakai demo tolak kenaikan harga BBM, sehingga dibuat macet. Omelan pun tidak terelakkan dari pengguna jalan atau penumpang angkutan kota.
Massa membludak di jalanan hingga merangsek ke barisan polisi, ke kantor atau tempat-tempat vital. Mereka sama membludaknya di grup WhatsApp dan media sosial.
Demi tuntutan tolak kenaikan harga BBM, semacam adu nyali pun taruhannya, tatkala massa mahasiswa menerobos kawat berduri yang terpasang di jalan.
Karena keberanian yang pantang mundur, tetapi terukur, maka massa mahasiswa saling mendorong dengan aparat kepolisian yang bertugas di suatu tempat aksi demonstrasi.
Suasana 'panas' di pekan pertama bulan September tidak terhindarkan. Aparat kepolisian yang sedang menyiapkan barikade terpaksa menghadapi lemparam botol air kemesan dari aksi demo mahasiswa.