Mohon tunggu...
Erlytasari
Erlytasari Mohon Tunggu... Lainnya - Ekonomi Islam

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jual Beli dalam Islam dan Etika sebagai Manusia

30 November 2020   08:44 Diperbarui: 30 November 2020   08:53 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jual beli atau perdagangan merupakan aktivitas yang umum dilakukan dan hampir setiap saat terjadi  di masyarakat. Jual beli memiliki dua komponen utama, yaitu pembeli dan penjual. Keinginan umum seorang pembeli ialah mendapatkan barang murah dengan kualitas yang bagus. Sedangkan keinginan seorang penjual adalah dagangannya laku banyak dan mendapatkan laba/keuntungan maksimal. Secara umum, tujuan dari  praktek jual beli memang untuk mendapatkan keuntungan, tetapi apakah hanya berorientasi pada keuntungan sudah cukup? Apakah hal ini sudah sesuai dengan prinsip jual beli dalam islam?

Jual beli dalam ekonomi konvensional bersifat individualistik dan hanya mencari cara bagaimana mendapatkan laba/keuntungan lebih. Orientasi laba yang menjadi tujuan penjual hanya berputar sekitar nilai materil dan memuaskan kebutuhan nafsu untuk menimbun kekayaan. Sedangkan Jual beli dalam ekonomi Islam tidak hanya berorientasi pada keuntungan saja, namun juga berorientasi pada kejelasan, kejujuran, keridhoan antar pelaku bisnis dan keberkahan dalam transaksi. Sehingga, laba/keuntungannya  lebih mengarah pada laba dunia akhirat, dimana orientasinya adalah kemashlahatan bagi seluruh umat manusia, dengan tujuan tercapai kebahagian dunia akhirat (falah).

Islam memandang  jual beli atau perdagangan merupakan sesuatu yang mulia, bahkan Rasulullah pun merupakan seorang pedagang. Rasulullah dikenal sebagai pedagang yang jujur, adil, dan amanah,  sehingga sangat layak menjadi panutan dalam jual beli. Ketika berdagang, Rasulullah tidak pernah melupakan etikanya sebagai manusia, yaitu saling tolong menolong dan saling memudahkan antar sesama. Beliau tidak pernah menyembunyikan barang cacat dan tidak pernah memonopoli perdagangan ataupun menimbun barang.  Hal ini dikarenakan dapat menimbulkan kemudharatan dan merugikan masyarakat.

Lalu, apakah praktek jual beli yang terjadi saat ini sudah sesuai dengan prinsip jual beli islam? Bagaimana dengan jual beli alat kesehatan, handsanitizer dan masker selama pandemi virus corona?

Sebagai contoh, mari kita lihat jual beli masker medis selama pandemi virus corona. Harga masker yang tiba-tiba melambung tinggi hingga mencapai ratusan bahkan jutaan rupiah, telah membuat masyarakat resah. Masker yang saat itu bahkan sampai sekarang masih menjadi kebutuhan, menjadi sulit didapatkan.  Apa penyebabnya? Tentu saja Kelangkaan akibat penimbunan. Oknum-oknum tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan keuntungan pribadi secara besar-besaran membeli masker medis, sehingga menyebabkan masker menjadi langka dipasaran. Ketika masyarakat sangat membutuhkan, para oknum menjualnya dengan harga yang sangat tinggi.

Apakah hal diatas sesuai dengan prinsip jual beli dalam islam? Tentu saja tidak. Alasan pertama, penimbunan barang tidak hanya dilarang oleh islam tetapi juga hukum negara. Pernimbunan seperti ini merupakan bentuk persaingan yang curang karena bertujuan untuk mengambil keuntungan sebesar mungkin dari adanya kenaikan harga akibat kelangkaan. Ini memperlihatkan ekonomi lebih utama dan kebutuhan masyarakat diabaikan. Kedua, ketika tujuan dari jual beli hanya untuk kepentingan duniawi, maka hal ini sudah tidak sesuai dengan islam. Ketiga, jual beli tersebut tidak memperhatikan etika sebagai manusia. Dimana ketika ada seseorang yang membutuhkan, harus kita tolong bukan malah menjadi jalan untuk mendapat keuntungan lebih.

Kesimpulannya adalah  mengambil keuntungan dalam suatu perdagangan itu boleh, dengan cara menyesuaikan syariat, sekalipun keuntungan tersebut melebihi standar keuntungan. Bahkan menurut beberapa ulama, keuntungan 100% itu termasuk halal (selama bukan termasuk bahan pokok). Sedangkan keuntungan yang didapat dari perdagangan dengan cara yang buruk dan dari penjualan yang menimbulkan mudharat adalah keuntungan yang haram, sekecil apapun jumlahnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun