Mohon tunggu...
Erlani Sri Astuti Nurbaeti
Erlani Sri Astuti Nurbaeti Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Siliwangi

A history education student who uses historical traces as inspiration today

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Kurikulum Tak Cukup: Mengapa Kultur Sekolah Penentu Mutu Pendidikan?

15 Oktober 2025   11:48 Diperbarui: 15 Oktober 2025   11:48 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selama bertahun-tahun, pembahasan tentang mutu pendidikan di Indonesia sering kali terjebak pada wacana kurikulum. Setiap muncul masalah dalam dunia pendidikan, solusi yang ditawarkan hampir selalu "revisi kurikulum". Telah puluhan kali kurikulum pendidikan kita berganti nama dan konsep seperti putaran roda yang berulang, mulai dari CBSA, KTSP, hingga Kurikulum Merdeka. Seolah-olah perubahan dokumen kurikulum secara otomatis mampu memperbaiki karakter, semangat belajar, hingga integritas peserta didik. Padahal, realitas di lapangan membuktikan bahwa kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh isi kurikulum, tetapi juga oleh kultur yang hidup di dalam sekolah itu sendiri.

Kurikulum hanyalah teks tertulis di atas kertas; ia baru bermakna ketika diwujudkan dalam kebiasaan, keteladanan, dan interaksi sehari-hari di sekolah. Di sinilah letak pentingnya kultur sekolah: sebagai pola nilai, kebiasaan, dan tradisi yang membentuk perilaku seluruh warga sekolah, baik guru, siswa, maupun tenaga kependidikan. Kultur bukan sekadar aturan, melainkan jiwa dari proses pendidikan itu sendiri. Tanpa kultur yang sehat, kurikulum sehebat apa pun hanya akan menjadi dokumen mati, tidak akan mampu melahirkan generasi yang berkarakter.

Pertanyaan reflektif sering muncul dalam benak saya: mampukah sebuah kurikulum yang hebat berhasil di sekolah yang miskin nilai dan semangat kolektif? Tanpa dukungan kultur yang positif, setiap gagasan pendidikan hanya akan berhenti sebagai wacana. Guru mungkin menguasai materi, siswa mungkin paham target pembelajaran, tetapi jika suasana sekolah dipenuhi tekanan dan ketidakjujuran, maka pendidikan akan kehilangan maknanya.

Hasanah & Priyanto (2021) dalam Jurnal Basicedu menemukan bahwa budaya sekolah yang positif berkontribusi hingga 65% terhadap peningkatan mutu pendidikan. Penelitian mereka menunjukkan bahwa sekolah dengan budaya kolaboratif memiliki tingkat keberhasilan implementasi kurikulum yang lebih tinggi dibandingkan sekolah dengan budaya individualistik.

Sayangnya, banyak sekolah di Indonesia masih terfokus pada aspek administratif. Guru sibuk menyusun RPP, laporan nilai, dan perangkat pembelajaran lainnya, sementara aspek kehidupan nyata di ruang kelas dan lingkungan sekolah sering terabaikan. Nilai ujian dijadikan tolak ukur utama keberhasilan, padahal di balik angka-angka tersebut, terdapat karakter, empati, dan tanggung jawab yang tidak bisa diukur dengan angka. Ketika sekolah hanya mengejar target kurikulum tanpa memedulikan kultur, maka nilai-nilai kemanusiaan perlahan terpinggirkan. Sekolah berubah menjadi pabrik penghasil nilai angka, bukan pembentuk nilai moral.

Pemikiran Ki Hajar Dewantara (1962) masih relevan: pendidikan tidak hanya mengasah pikiran, tetapi juga menumbuhkan budi pekerti agar manusia selaras dengan lingkungan dan masyarakatnya. Jika sekolah gagal menumbuhkan budi pekerti, maka sebaik apa pun kurikulumnya, pendidikan tetap kehilangan jiwanya.

Kultur sekolah berperan seperti akar bagi pohon pendidikan. Kurikulum mungkin bisa diibaratkan sebagai batang dan cabang, tetapi tanpa akar yang kuat, pohon itu akan mudah tumbang. Kultur menciptakan rasa aman, saling percaya, dan tanggung jawab bersama. Ia menjadi "perekat sosial" yang mengubah proses belajar dari sekadar transfer ilmu menjadi pembentukan karakter.

Pengalaman berkunjung ke SMK Negeri Manonjaya memberikan bukti nyata tentang hal ini. Sekolah ini secara sengaja mengadopsi budaya industri dalam kesehariannya, mulai dari penataan lingkungan yang tertib dengan jalur hijau bagi pejalan kaki, zebra cross untuk penyeberangan, hingga pembagian jalur kendaraan yang jelas. Aturan penampilan seperti rambut pendek bagi siswa laki-laki, diterapkan dengan ketat sesuai kebutuhan dunia kerja.

Yang lebih menarik adalah strategi pembentukan karakter melalui program Jumat yang terstruktur: Juliet (Jumat Literasi), Jumanji (Jumat Mengaji), dan Jurasih (Jumat Rapi dan Bersih). Setiap program memiliki target pengembangan karakter yang spesifik. Literasi memperluas wawasan, mengaji membentuk spiritualitas, sementara kegiatan bersih-bersih menanamkan kepedulian terhadap lingkungan. Semua kegiatan ini tidak tercantum detail dalam kurikulum, namun justru menjadi wajah sejati pendidikan karakter yang dihidupkan melalui budaya sekolah.

Rachmawati & Mustafa (2022) dalam Jurnal Pendidikan dan Konseling mengungkapkan bahwa budaya sekolah menjadi faktor penentu utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah yang berhasil membangun budaya positif mengalami peningkatan signifikan dalam pencapaian akademik dan karakter siswa. Hal ini menjadi bukti bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak selalu menuntut kurikulum baru. Yang lebih penting adalah menghidupkan nilai-nilai positif dan menjadikannya bagian dari keseharian sekolah.

Abuddin Nata (2018) menegaskan bahwa pendidikan karakter hanya akan berhasil jika nilai yang diajarkan selaras dengan perilaku nyata di lingkungan sekolah. Artinya, integritas dan keteladanan lebih menentukan daripada isi buku panduan atau struktur kurikulum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun