Mohon tunggu...
erisman yahya
erisman yahya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah, maka kamu ada...

Masyarakat biasa...proletar

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Mulut Besar" ala PSI

14 November 2018   16:39 Diperbarui: 14 November 2018   16:45 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: portal islam

Akhirnya saya ikut-ikutan menulis ini. Setelah sebelumnya sedikitpun tidak tertarik mengomentari manuver-manuver yang dijalankan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Tapi setelah banyak kontroversi mengemuka, rasanya tidak salah juga ikut sharing (berbagi) pendapat.

Kenapa saya tidak tertarik? Karena saya memang bukan politisi. Tapi lebih dari itu, sebenarnya ada salah seorang bintang utama di PSI yang saya kenal baik. Dia adalah Raja Juliantoni. Selama ini saya berfikir, apapun tindak-tanduk dia selaku seorang Sekretaris Jenderal, segalanya adalah buah dari ijtihad politiknya.

Namun kontroversi terakhir yang dibuat PSI, partai yang mengaku didiami para anak muda milenial itu, membuat banyak orang mengernyitkan dahi. Bagaimana tidak. Pernyataan Ketua Umum PSI Grace Natalie saat ultah ke-4 PSI, baru-baru ini, di BSD, Tangerang, bahwa PSI menolak perda-perda syari'ah, seakan melawan "kehendak besar" mayoritas rakyat Indonesia yang memang beragama Islam.

Saya mencoba mencari tahu, searching google, apa sebenarnya alasan prinsip substansial, sehingga seorang Grace yang (mohon maaf) memang bukan seorang muslimah, dengan sangat berani menyampaikan pernyataan seperti itu. Sejauh ini, saya belum mendapatkan jawabannya.

Grace memang tidak hanya bicara soal perda syari'ah. Tapi juga perda injil. Tapi fakta bahwa mayoritas penduduk negeri ini adalah umat Islam dan ghirah beragama umat Islam juga sangat tinggi. Tentu soal perda injil sebenarnya tidaklah begitu prinsip.

Apa sebenarnya yang salah dengan perda syari'ah, sehingga PSI dengan tegas menolaknya? Perda syari'ah berarti aturan-aturan yang dibuat oleh suatu pemerintah daerah bersama wakil rakyat daerah dengan mengedepankan nilai-nilai atau berdasarkan ajaran agama Islam.

Di Aceh misalnya, ada Perda tentang Pengelolaan Zakat. Di Padang Pariaman, Sumbar, ada Perda tentang Pencegahan, Penindakan dan Pemberantasan Maksiat. Atau di Lampung Selatan, Lampung, ada Perda tentang Larangan Perbuatan Prostitusi, Tuna Susila, dan Perjudian serta Pencegahan Perbuatan Maksiat dalam Wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

Sejalan dengan itu, di Manokwari, Papua Barat, ada penerapan hukum berdasarkan Injil, yang secara spesifik menjelaskan mengenai pelarangan minuman beralkohol dan kegiatan prostitusi, peraturan mengenai busana dan persekutuan, termasuk pelarangan penggunaan dan pemakaian simbol-simbol agama, dan pelarangan pembangunan rumah-rumah ibadat agama lain di dekat Gereja (https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_peraturan_daerah_di_Indonesia_berlandaskan_hukum_agama).

Masih banyak selain daerah-daerah di atas yang telah membuat dan melahirkan perda syari'ah. Perda-perda tersebut lahir tentu berdasarkan kehendak rakyat. Karena memang agama adalah salah satu sumber hukum di Indonesia.

Lahirnya perda syari'ah juga dapat disebut sebagai ejawantah dari semangat Pasal 29 UUD 1945. Lalu, kenapa mesti ditolak?

Indonesia memang bukan negara Islam. Tapi seperti kata founding fathers kita, Bapak Mohammad Hatta, tidak ada salahnya kita berusaha menggarami setiap hal dengan ajaran-ajaran agama Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun