[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber: http://www.stop-obama.org"][/caption] Kalau Anda menyimak tulisan-tulisan saya selama ini, Anda bisa gampang menebak dari mana saya dan dari suku apa. Dalam beberapa tulisan, secara eksplisit saya sebutkan bahwa saya orang Garut, yang artinya bersuku Sunda. Saya memang dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kampung bernama Pasanggrahan dimana tradisi dan agama menjadi ruh tak terpisahkan dalam kehidupan sosial. Bahasa yang digunakan di lingkungan rumah dan di masyarakat pun sudah barang tentu bahasa Sunda, kecuali dalam konteks formal seperti sekolah, perkantoran, dan sejenisnya. Intinya, saya orang Sunda dan bisa bahasa Sunda, dengan semua keterbatasan pengetahuan kebahasaan saya. Dalam perjalanan hidup saya, pertanyaan ikhwal "mau jadi apa" senantiasa membayangi saya sedari kecil. Tidak pernah ada jawaban pasti, karena namanya anak kecil yang karena keterbasan kapasitas kognitif belum bisa berpikir jauh mengenai masa depannya. Ekspektasi orang tua dan keluarga besar pun beragam. Laiknya sebagian orang tua, mereka menghendaki saya menjadi "polisi", "pilot", bahkan "presiden". Saya yakin semuanya bersumber dari persepsi masyarakat mengenai profesi yang bergengsi. Karenanya, ketika ditanya mau jadi apa, dengan penuh kebanggaan saya menjawab, "Ingin jadi presiden". Selepas SMP, kebingungan mulai menghinggapi diri. Orang tua terbelah mengenai kemana saya harus disekolahkan. Tapi mereka sepakat satu hal. Dengan berbasis prospek dan pragmatisme, saya harus sekolah di SMK, biar gampang mencari kerja. Nah, yang dipersoalkan SMK yang mana? Setelah berdiskusi dengan temannya, disepakatilah bahwa saya hijrah ke Bandung untuk menimba ilmu seputar perhotelan dan kepariwisataan. Pikiran saya cukup sederhana, dengan berkecimpung di dunia pariwisata, saya bisa pelesir kemana-mana. Selesai dengan SMK Pariwisata, lagi-lagi saya dibingungkan dengan orientasi hidup saya. Pariwisata ternyata bukan dunia saya. Kerja susah dicari karena ada krisis moneter saat itu, kuliah pariwisata pun mahalnya bukan main. Akhirnya, pilihan jatuh pada universitas negeri karena biaya lebih terjangkau dengan mengambil jurusan bahasa Inggris. Untungnya, saya lulus UMPTN. Kalau tidak, entah pilihan apa lagi yang bisa saya ambil. Dengan belajar bahasa Inggris, paling tidak saya bisa menjadi guru. Selepas beres kuliah, saya memutuskan berkiprah di dunia industri, menjadi staf personalia. Siapa tahu kan suatu saat menjadi direktur eksekutif sebuah perusahaan besar. Ternyata itu semua hanya impian. Perusahaan tempat bekerja saya dulu tidak memberikan ruang bagi saya untuk tumbuh berkembang. Saya hanya dijadikan robot, yang tak bisa berbuat apa-apa tanpa perintah. Untungnya, saya ditarik kembali ke kampus untuk mengajar. Jadilah saya dosen. Sebuah profesi yang sepertinta cukup menjanjikan masa depan yang cerah. Lagi-lagi, kebingungan mengenai orientasi menyapa kembali. "Mau jadi dosen apa?" Betul saya memang dosen bahasa Inggris tapi kalau berpikir karir, saya harus mulai memilih dan memilah spesialisasi. Untungnya, seorang dosen senior yang merupakan pakar linguistik bersedia menjadi 'mentor' saya. Beliau siap menurunkan semua ilmunya selama saya bersungguh-sungguh belajar dan bersedia bekerja keras. Ketika melamar beasiswa, kebingungan kembali menghadang. "Linguistiknya apa ya?" Karena dalam mengisi tujuan studi, kita harus bisa sangat spesifik mengenai apa yang ingin dipelajari. Agar memberi kesan bahwa kita serius dan mempunyai orientasi studi yang jelas. Setelah melakukan sedikit riset, saya memilih "linguistik komputasional", perkawinan antara ilmu bahasa dengan ilmu komputer. Motivasinya hanya satu. Ahli di bidang itu masih sangat jarang, sehingga prospek karir dipastikan akan cemerlang. Setelah terbang ke Amerika, jurusan ini tidak digarap secara serius di universitas yang saya tuju. Website jurusan rupanya jarang diperbaharui sehingga banyak informasi yang tidak akurat. Intinya, spesialisasi linguistik komputasional tidak ditawarkan di kampus ini. Lagi-lagi, kebingungan menghantui diri. Untungnya, pembimbing saya begitu tertarik dengan bahasa Sunda. Dia melihat banyak potensi yang bisa saya garap dalam bahasa Sunda, teristimewa struktur bahasanya. Saya akhirnya banting setir mendalami ilmu tata bahasa (sintaksis), terkhusus tata bahasa Sunda. Jadi, jauh dari Garut-Bandung sana ke Amerika sini mencari sesuatu yang baru dan langka berujung pada sesuatu yang sudah saya miliki sedari kecil, yakni bahasa Sunda. Sesuatu yang awalnya tampak tidak begitu menarik untuk dikaji apalagi dijadikan spesialisasi, ternyata di kemudian hari bisa membuahkan banyak potensi. Sudah sebilangan makalah ikhwal bahasa Sunda yang sudah saya sajikan dalam pelbagai konferensi internasional. Dan, masih banyak hal-hal menarik lain yang bisa digali dari bahasa Sunda ini. Ternyata, kalau kita mempunyai ilmunya, apapun bisa menjadi berguna.