Di pelosok pegunungan di sebuah desa bernama Sukasari, berdiri sebuah sekolah sederhana bernama SD Negeri Tunas Bangsa. Sekolah ini hanya memiliki tiga ruang kelas, satu ruang guru kecil, dan sebuah halaman berdebu yang sering dijadikan tempat upacara dan bermain bola. Meski fasilitasnya terbatas, semangat belajar anak-anak di sana begitu tinggi. Namun, karena keterbatasan jumlah guru dan siswa, sekolah ini menerapkan sistem kelas rangkap.
Salah satu guru yang mengajar di sekolah itu adalah Bu Rini, seorang guru yang telah mengabdi selama 12 tahun. Bu Rini dikenal sebagai sosok penyabar dan penuh kasih. Ia tidak hanya mengajar, tapi juga menjadi "ibu kedua" bagi banyak muridnya. Setiap hari, Bu Rini mengajar kelas 3 dan kelas 4 secara bersamaan dalam satu ruangan. Dua kelompok usia, dua kurikulum berbeda, namun hanya satu guru yang mengelola semuanya.
Pagi itu, Bu Rini masuk ke kelas sambil membawa dua tumpukan buku. Ia tersenyum hangat menyambut murid-muridnya yang duduk bersaf di dua sisi ruangan — kelas 3 di sisi kiri, kelas 4 di sisi kanan.
“Selamat pagi, anak-anak! Hari ini kita akan belajar dengan semangat ya!” sapanya riang.
“Pagi, Bu Rini!” jawab mereka serempak.
Setelah berdoa dan menyanyikan lagu nasional, Bu Rini pun memulai pelajaran. Ia menulis dua jadwal berbeda di papan tulis. Untuk kelas 3, mereka akan belajar tentang jenis-jenis pekerjaan di lingkungan sekitar, sedangkan kelas 4 akan belajar membuat rangkuman dari teks bacaan.
“Kelas 3, dengarkan ya. Ibu akan menjelaskan tentang pekerjaan petani, guru, dan nelayan. Setelah itu kalian gambar dan beri keterangan,” jelas Bu Rini.
Sementara itu, ia mengarahkan kelas 4 untuk membaca buku paket dan mulai menulis rangkuman di buku tulis mereka.
Meskipun terlihat sederhana, mengajar dua kelas sekaligus bukan perkara mudah. Bu Rini harus pintar membagi waktu dan perhatian. Ia membuat jadwal rotasi: ketika satu kelas mendengarkan penjelasan, kelas lain mengerjakan tugas mandiri. Suara-suara kecil kerap terdengar tumpang tindih, namun anak-anak sudah terbiasa dan belajar saling menghormati.
Terkadang, murid kelas 4 seperti Lina atau Bayu diminta membantu adik kelasnya memahami soal. Itu bukan hanya membantu guru, tapi juga memperkuat pemahaman mereka sendiri. Bu Rini percaya bahwa pembelajaran sejati terjadi saat anak-anak bisa berbagi ilmu satu sama lain.
“Kalian bukan hanya murid, tapi juga kakak dan adik bagi teman kalian. Saling bantu, ya,” ujar Bu Rini suatu hari.