Saat ini, istilah Rojali dan Rohana sedang marak kita dengar di media sosial. Sayangnya, istilah ini bukan tentang sepasang nama kekasih seperti kisah Romeo dan Juliet, tapi istilah ini muncul dari sebuah plesetan getir yang muncul di kalangan pedagang Indonesia. Rojali artinya "Rombongan Jarang Beli", sementara Rohana adalah "Rombongan Hanya Nanya". Biasanya, istilah ini muncul saat segerombolan orang masuk ke toko, lihat-lihat, tanya-tanya, lalu... pergi tanpa membeli apa pun.
Bagi sebagian pedagang, hal ini tentu memberikan dampak yang cukup berisiko, di mana rendahnya daya beli masyarakat bisa memengaruhi usaha para pedagang yang kerap mengandalkan kebutuhan harian dari barang jualannya. Jika mayoritas masyarakat memilih menjadi bagian dari 'Rojali dan Rohana', lalu bagaimana para pedagang ini bisa bertahan untuk kelangsungan hidupnya?
Rojali dan Rohana bukan hanya sekadar humor plesetan, tapi ini sebenarnya adalah wajah baru dari kemiskinan Indonesia yang dirias agar tak terlalu menyakitkan. Fenomena ini adalah efek domino, di mana daya beli masyarakat yang menukik bukan karena masyarakat Indonesia tiba-tiba bermeditasi anti-konsumtif, melainkan karena perut mereka lebih penting diisi dengan nasi daripada bergaya dengan baju baru. Rojali dan Rohana ini bukan tidak mau membeli barang yang dijajakan di etalase pertokoan, tapi mereka sadar betul bahwa anggaran dari gaji bulanan yang pas-pasan membuat mereka sulit menyisihkan dana untuk kebutuhan di luar makan. Alhasil, mereka lebih memilih melihat-lihat barang di pertokoan sebagai sarana hiburan semata.
Mari kita tinjau ulang besaran UMK tiap provinsi. Meski nominalnya kerap berbeda, tapi jika dibandingkan dengan tingginya biaya hidup di kota tersebut, angka UMK tersebut tetap jauh dari kata mencukupi untuk bertahan hidup. Apalagi bagi yang sudah berkeluarga, selama dua minggu pertama mungkin aman, sisanya seperti biasa, mereka harus mencari pinjaman online. Menyedihkan? Tapi itulah fenomena nyata yang terjadi di negara kita. Bukan karena pendidikan rendah atau kerja kerasnya yang kurang, sehingga penghasilannya dikategorikan di bawah standar kelayakan, karena pada kenyataannya yang berpendidikan S2 pun, gajinya bahkan tak sampai dua digit. Mereka yang punya banyak sertifikasi, itu kadang dibayar tidak lebih dari tiga juta. Mereka masih harus banting tulang mencari seseran ke sana ke sini demi uang dapur tetap mengepul.
Yang menyedihkan, istilah Rojali dan Rohana justru sering jadi bahan olokan para elit. Seolah masyarakat kita itu "irit dan terlalu pelit". Padahal, mereka ini sedang berdiri di antara gaji yang pas-pasan dan kebutuhan hidup yang makin tinggi. Ini bukan soal gengsi tak mau beli, tapi soal logika: "Kalau banyak barang yang dibeli, besoknya makan apa?"
Lucunya, para petinggi kita sering pura-pura lupa bahwa realita ini bukan sekadar statistik di lembar laporan tahunan. Ini nyata! Tentang masyarakat Indonesia, tentang rakyat kita yang semakin hari semakin terjerat dalam kemiskinan ekstrem. Mereka hidup di ruang dingin ber-AC, membahas inflasi terkendali dan data statistik kemiskinan menurun, sembari menyeruput secangkir kopi luwak. Sementara rakyatnya? Jutaan orang jadi pengangguran. Jutaan orang terjerat kemiskinan. Jutaan orang terjerat pinjaman online. Lucunya, semua kerap hanya menjadi tontonan. Â Â
Rojali dan Rohana adalah simbol zaman. Sebuah sindiran diam-diam dari masyarakat yang lelah tapi masih mencoba untuk bisa bahagia, tertawa menertawakan penderitaan. Karena memang, kalau tidak ditertawakan, mungkin semuanya sudah jadi gila dengan tekanan hidup yang semakin luar biasa.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI