Oleh : Ririe AikoÂ
Setiap 1 Mei, kita merayakan Hari Buruh sebagai momen untuk mengenang perjuangan pekerja di seluruh dunia. Hari ini seharusnya menjadi pengingat akan hak-hak dasar buruh, pengakuan atas kontribusi mereka dalam perekonomian global, serta penghargaan terhadap perjuangan panjang yang membawa perubahan bagi kondisi kerja di banyak negara. Namun, di Indonesia, merayakan Hari Buruh tahun ini terasa jauh dari kegembiraan. Sebab, di tengah peringatan yang seharusnya menggugah semangat solidaritas, realita pahit justru mengemuka. Banyak buruh yang kini terjerat dalam badai pemutusan hubungan kerja (PHK), sementara jumlah pengangguran semakin meningkat akibat lemahnya perekonomian global yang berdampak langsung pada lapangan pekerjaan.
Awal tahun 2025 ini, sejumlah perusahaan raksasa di Indonesia sudah melakukan PHK massal. Mulai dari sektor teknologi, manufaktur, hingga perusahaan ritel besar, mereka terpaksa merumahkan ribuan pekerja demi bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi. Ini menjadi tamparan keras bagi para buruh yang sebelumnya berharap memiliki kepastian kerja dan kesejahteraan. Sektor-sektor yang dulunya menjadi tulang punggung ekonomi negara, kini mulai kehilangan daya saing karena dampak dari inflasi global, kenaikan harga bahan baku, serta ketidakstabilan pasar internasional.
Namun, apakah kita masih bisa merayakan Hari Buruh dengan semangat yang sama, ketika begitu banyak buruh yang kehilangan pekerjaan dan terpaksa bergabung dengan angka pengangguran yang terus meningkat? Bagaimana mungkin kita bisa merayakan kemajuan dan keberhasilan, sementara kondisi nyata di lapangan justru semakin memperlihatkan jurang ketidaksetaraan antara pekerja dan majikan?
Dalam konteks ini, Hari Buruh seharusnya tidak hanya menjadi perayaan, tetapi juga ajang refleksi untuk menilai kembali sejauh mana negara telah memenuhi janji-janji kesejahteraan bagi buruh. Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah apakah kita benar-benar memperhatikan nasib buruh di tengah gejolak ekonomi global ini. Apakah kebijakan yang diambil oleh pemerintah cukup ampuh untuk melindungi hak-hak pekerja, terutama dalam menghadapi ancaman PHK massal yang terus membayangi?
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka Indonesia pada Agustus 2024 berada di angka 4,91%, yang setara dengan lebih dari 7 juta orang. Angka ini mencerminkan kesulitan yang dihadapi oleh banyak orang yang tergabung dalam dunia kerja, apalagi dengan semakin banyaknya pekerja yang terpaksa kehilangan pekerjaan mereka. Di sisi lain, sektor industri yang dahulu memberikan harapan bagi banyak keluarga kini berada dalam kondisi stagnasi. Hal ini tentu saja berdampak pada tingkat kesejahteraan buruh yang semakin terpuruk, meskipun mereka tetap bekerja keras setiap hari.
Lantas, di mana letak makna dari Hari Buruh saat ini? Apakah Hari Buruh hanya menjadi momen untuk mengenang masa lalu, ataukah kita harus kembali menyoroti persoalan-persoalan aktual yang dihadapi oleh para buruh? Hari Buruh seharusnya menjadi ajang untuk mengingatkan pemerintah dan pengusaha agar tidak hanya mengejar laba semata, tetapi juga memberikan perlindungan lebih baik bagi pekerja. Keberlanjutan hidup buruh seharusnya tidak dipertaruhkan hanya demi memenuhi ambisi ekonomi jangka pendek.
Sementara itu, bagi buruh yang sudah kehilangan pekerjaan mereka akibat PHK, kita perlu memikirkan solusi yang lebih komprehensif. Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk menciptakan sistem jaminan sosial yang lebih baik. Tidak hanya berupa pesangon yang tidak sebanding dengan biaya hidup, tetapi juga perlu ada kebijakan yang mendorong upaya pelatihan ulang (re-skilling) bagi pekerja yang terkena PHK. Mereka harus diberi akses untuk mengembangkan keterampilan baru yang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang terus berubah.
Selain itu, pengusaha dan pemerintah harus lebih terbuka dalam merumuskan kebijakan yang mengutamakan kepentingan buruh, terutama dalam hal hak-hak mereka yang rentan diabaikan. Pengusaha tidak hanya harus berfokus pada keuntungan semata, melainkan juga memperhatikan keberlanjutan dan kesejahteraan jangka panjang para pekerjanya. Sistem kerja yang lebih fleksibel dan transparan menjadi hal yang sangat penting, terutama di tengah era digital yang penuh ketidakpastian ini.
Merayakan Hari Buruh di tengah badai PHK ini berarti mengakui bahwa masih banyak yang harus diperbaiki dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Peringatan ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa buruh bukanlah sekadar alat produksi, melainkan manusia yang harus dihargai martabatnya. Hari Buruh bukan hanya soal kebijakan yang mengatur jam kerja atau upah minimum, tetapi juga tentang bagaimana kita memastikan bahwa buruh dapat hidup dengan layak dan bekerja dengan penuh rasa aman.