Penulis:Ririe AikoÂ
Dalam satu dekade terakhir, bank digital telah menjelma menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat modern. Cukup dengan gawai di tangan, seseorang bisa membuka rekening, mentransfer dana, membeli saham, bahkan mengajukan pinjaman tanpa harus datang ke kantor fisik. Kemudahan ini telah mengubah wajah perbankan global secara fundamental. Namun, di balik kemasan praktis dan modern itu, terdapat sejumlah risiko yang sering kali luput dari perhatian. Bila tidak ditinjau secara cermat, layanan bank digital justru bisa menjadi ancaman terselubung, khususnya terhadap keamanan finansial dan investasi nasabah.
Bank digital, seperti namanya, beroperasi sepenuhnya berbasis teknologi. Tidak ada lagi kantor cabang dengan antrean panjang atau formulir fisik yang menumpuk. Semuanya bergantung pada jaringan internet, aplikasi, dan sistem digital yang canggih. Keunggulan ini membuat bank digital tumbuh pesat, menarik minat investor muda, dan menjanjikan inklusi keuangan yang lebih luas.
Namun, kemajuan ini tak datang tanpa konsekuensi. Salah satu tantangan terbesar adalah keamanan data dan potensi serangan siber. Semakin besar ketergantungan terhadap teknologi, semakin tinggi pula risiko kebocoran data pribadi dan finansial. Pada 2023, beberapa platform keuangan digital di Asia Tenggara mengalami serangan siber yang menyebabkan kerugian miliaran rupiah. Data nasabah, termasuk nomor rekening, informasi transaksi, bahkan sandi pribadi, bocor dan diperjualbelikan di pasar gelap digital.
Bagi investor, kondisi ini bisa sangat merugikan. Misalnya, bila akun bank digital disusupi pihak tidak bertanggung jawab, dana investasi yang sudah ditanamkan bisa ditarik tanpa jejak. Lebih buruk lagi, sistem digital yang error atau diretas bisa memanipulasi laporan keuangan, menyebabkan investor mengambil keputusan berdasarkan data yang salah.
Selain isu keamanan, risiko lain adalah ketidakstabilan likuiditas bank digital itu sendiri. Tidak seperti bank konvensional yang memiliki cadangan fisik dan jaringan aset luas, bank digital cenderung mengandalkan modal ventura, pinjaman, atau pendanaan jangka pendek dari pasar. Ketika suku bunga naik atau terjadi penarikan dana massal, seperti yang terjadi pada Silicon Valley Bank di Amerika bank digital dapat mengalami kekurangan likuiditas secara tiba-tiba.
Kondisi semacam ini sangat berbahaya bagi investor. Risiko terburuk yang bisa terjadi adalah kebangkrutan mendadak, di mana dana nasabah termasuk investasi tidak bisa dicairkan. Meskipun ada jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tidak semua produk investasi yang ditawarkan bank digital masuk dalam cakupan jaminan tersebut.
Minimnya regulasi dan pengawasan menyeluruh dari otoritas keuangan juga memperbesar potensi risiko. Banyak startup bank digital tumbuh lebih cepat daripada perkembangan regulasi yang mengawasi mereka. Ketidakseimbangan ini membuat ruang abu-abu hukum yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk melakukan manipulasi atau penggelapan.
Tak hanya itu, kita juga perlu mencermati hilangnya unsur human touch dalam layanan keuangan. Ketika semua aspek layanan dilakukan lewat chatbot atau otomatisasi sistem, nasabah kehilangan akses pada penasihat keuangan manusia yang bisa membantu menyelesaikan masalah kompleks. Dalam kasus tertentu, misalnya sengketa atau kesalahan transaksi, nasabah harus berhadapan dengan sistem yang kaku dan tidak memahami konteks personal. Ini tentu menyulitkan, apalagi jika melibatkan dana besar dalam bentuk investasi.
Dengan segala risiko tersebut, penting bagi masyarakat untuk tidak terlena oleh kemudahan semata. Penggunaan bank digital tetap memerlukan kewaspadaan, pengetahuan literasi digital, dan analisis mendalam sebelum berinvestasi. Jangan asal tergiur dengan tampilan aplikasi yang menarik atau janji cashback besar. Lihatlah fundamental bisnis, struktur kepemilikan, hingga tingkat keamanannya.