Mohon tunggu...
Erik Kurniawan
Erik Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aktivis Pergerakan Pemuda

Sekretaris di Pimpinan Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor di Ponorogo. Hobi Menulis, Berfikir Besar, Kemudian Bertindak. Murid Ideologis Tan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Prank Massal Reog Ponorogo?

11 April 2022   20:32 Diperbarui: 11 April 2022   20:34 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari ini laman media sosial dan beberapa media massa menjadi bagian dari kehebohan gelaran pentas Reog di pusat Kabupaten Ponorogo. Ratusan bahkan mungkin ribuan massa berkumpul menghelat reog'an demi menyuarakan orasi dan aspirasi, hingga membuat omicron seakan tak bermartabat lagi. Beberapa malam terakhir seakan menjadi saksi perjuangan para seniman dan "pandhemen" budaya yang berdarah-darah memperjuangkan Reog Ponorogo agar masuk dalam prioritas pengajuan ke ICH UNESCO. Perjuangan yang ternyata berkonklusi tragedi karena scene ini tidak lantas berakhir bahagia. Dan semuanya pun kecewa.

Melihat fenomena ini, penulis pribadi merasa heran hingga timbullah beberapa pertanyaan. Diantaranya, "Kok baru akhir-akhir ini heboh masalah reog, lha kemarin kemana aja?", "Reog'an tiap tanggal 11 ditiadakan dengan alasan penerapan PPKM akibat pandemi, ini kok malah buat keramaian berjilid-jilid di pusat kota?", "Ada apa sih ini?".

Melontarkan pertanyaan diatas kepada teman-teman yang "interest" isu Reog, tak ayal tentu memantik ketersinggungan bahkan mungkin kemarahan mereka. Tanpa bermaksud menggembosi semangat berbudaya dan merawat tradisi adiluhung yang mencuat kembali setelah sekian lama vakum dan meredup, perlu kiranya mulai berdiskusi dengan kepala dingin. Kita butuh berbenah dan menakar diri untuk introspeksi dan memunculkan otokritik guna bahan evaluasi. Berbagai kekhawatiran perihal tradisi Reog Ponorogo yang berhasil memunculkan simpati publik, jangan malah nantinya berakhir kontraproduktif.

Mengutip ajaran Trisakti Soekarno dikatakan bahwa sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan mutlak memiliki 3 hal, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) di bidang ekonomi, & berkepribadian di bidang kebudayaan. (Lihat Asvi Warman Adam:Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno). Kepedulian budaya erat kaitannya dengan peneguhan kepribadian & jatidiri bangsa. Kekuatan budaya inilah yg sebenarnya menjadi pilar kuat bangsa ini, yg membedakan dengan retorika teori keilmuan dunia barat. Kita boleh marah saat budaya sendiri diklaim  negara lain, namun bukan hal yg elok kini baru rajin bicara budaya sedang kemarin belum banyak berbuat.

Kesadaran berbudaya yang tumbuh mekar kembali setelah kian terkikis dan meredup merupakan sinyal positif. Meskipun bisa dikata miris manakala yang dikatakan kepedulian sejati masih membutuhkan pemantik, sedang di lain sisi budaya Reog Ponorogo telah ada sedari zaman "baheula". Pun di internal Ponorogo sendiri sekedar perdebatan penggunaan kata REOG atau REYOG belum jua usai. Perspektif budaya yang ditunjukkan oleh kaum muda millenial dengan karya-karya kontemporer masih sering diabaikan. Perbedaan versi antara keterkaitan Reog dengan Bantarangin atau Ki Ageng Kutu masih belum menemui titik temu, apalagi berpegang pada 1 versi yang disepakati bersama. Padahal, esensi konvensi ICH UNESCO tidak memandang asal muasal budaya itu darimana dan milik siapa namun dimana budaya itu masih hidup dan dilestarikan.

Visi kita semua sebenarnya sama yakni agar Reog Ponorogo diakui sebagai Warisan Dunia Tak Benda. Misi kitapun sama yakni demi menjaga kelestarian budaya Reog Ponorogo agar tidak punah. Namun, apakah cukup hanya dengan "marok" menunjukkan taji dan kemarahan pada negara jiran semua ini akan usai? Apakah dengan terus menerus mencari kambing hitam permasalahan budaya reog akan selesai? Bukankah justru malah naif dan kontraproduktif?

Berkaca pada masa lalu, di zaman Bupati Markum reog bisa dikatakan mulai mendapat perhatian besar ditandai dengan digelarnya Festival Reog untuk pertama kali. Berbagai titik strategis dibangun landmark sebagai  pertunjukan identitas asli Ponorogo. Mulai dari perempatan jalan, perbatasan kabupaten, hingga jalan masuk desa sangat kental dengan nuansa Reog Ponorogo. Di tahun 2004 di masa Bupati Muryanto, festival reog berubah nama menjadi Festival Reog Nasional yang diikuti oleh berbagai grup dari seluruh penjuru Nusantara. Hal ini terus berlanjut hingga sekarang dan vakum akibat pandemi beberapa tahun belakangan. Di masa Bupati Ipong pelestarian reog ditandai dengan "kewajiban" menggelar pentas reog di setiap desa/kelurahan setiap tanggal 11. Sedang di masa Bupati Kang Giri ini, telah muncul wacana pembangunan Monumen Reog setinggi 126 meter dan Museum Reog di kawasan Gunung Gamping Kecamatan Sampung.

Menanggapi kehebohan reog akhir-akhir ini, penulis berfikir tentang adanya kemungkinan bahwa upaya pemantik kesadaran "angleluri" Reog Ponorogo tidak lain hanyalah demi mensukseskan megaproyek ini. Satu hal yang cukup bagus dan perlu diapresiasi setinggi-tingginya. Meski masih menjadi pertanyaan besar, setelah ini "so what?". Apakah akan meneruskan aksi-aksi jalanan seperti kemarin yang rawan menjadi blunder jika terlalu berlebihan??? Entahlah. Semoga ada pembisik yang tidak egosentris dan lebih bijaksana. Yang mampu membelokkan stigma perihal Reog ini menuju visi dan misi bersama, tanpa membuat masyarakat seakan merasa terkena prank massal. Dah ya? tak lanjut rebahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun