Mohon tunggu...
Eric Valega P
Eric Valega P Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Salah satu siswa di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, sejak 4 Agustus 2014. Masih tetap mencari identitas diri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mau Pamer? Tidak Perlu Belajar di Luar Negeri!

25 Februari 2012   18:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:17 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seiring dengan kemudahan berpindah tempat secara terjangkau, pilihan untuk belajar di luar negeri sudah mulai direalisasikan, baik oleh orang tua yang kaya, maupun yang anaknya mendapatkan beasiswa. Apakah itu dipakai sebagai sarana pamer?

Sekolah di luar negeri memang sangat menjanjikan, dari mutunya, fasilitasnya, pelarian dari aturan dari orang tuanya, atau mungkin, gengsinya. Saya tidak bisa memahami satu demi satu motif orang tua, namun saya memahami bahwa ada banyak siswa yang meneruskan pendidikannya di luar negeri. Hal itu patut menjadi tanda tanya besar, sebab sepengetahuan saya kebanyakan siswa memilih pendidikan di luar negeri memiliki orang tua yang memiliki kemampuan finansial baik hingga sangat baik. Apa artinya? Kebanyakan melanjutkan bukan karena beasiswa penuh, melainkan lebih pada beasiswa dalam jumlah kecil, atau murni dengan biaya sendiri.

Masalah yang ada adalah bahwa dengan banyak kursi-kursi di PT diisi orang-orang kaya, walau kita tidak bisa menampik bahwa ada pula yang benar-benar pintar, cenderung memberikan kesan bahwa melanjutkan studi di luar negeri adalah prestise, atau yang lebih buruk, gaya hidup masyarakat golongan atas. Di sana, memang diharapkan bisa turut menggembleng mereka untuk hidup dalam kesederhanaan dan dana terbatas, namun patut diingat akan dukungan dana dari orang tua. Saya memahami akan kerasnya hidup sebagai pekerja paruh waktu sekaligus siswa waktu penuh, dan juga perlunya persepsi bahwa mencari nafkah tidaklah mudah, sehingga dengan masalah tadi, orang tua melepaskan beban anak dengan memberinya sokongan dana. Ada sebagian yang sangat mengapresiasi, dan ada yang menganggap itu sebagai sebuah hal yang (maaf) keterlaluan. Saya cenderung memilih yang terakhir. Apa alasannya? Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia akan bekerja, mustahil menganggur, kalau ingin mencukupi kebutuhan hidup. Dengan tuntutan bekerja paruh waktu itu, ia diharapkan menjadi orang yang menghargai uang, sehingga berusaha keras mencari uang dan menghematnya. Ada cacat? Masih ada. Adalah hal yang umum bilamana seseorang sudah mulai berorientasi uang, hal-hal lain sudah mulai kurang diurus, termasuk pendidikan. Masalahnya sudah jelas hingga saat ini, bahwa memprioritaskan kerja sama saja menaruh pendidikan bagai telur di ujung tanduk, sedangkan membiarkan orang tua menyuplai semua dana sama saja memanjakan anak secara sangat berlebihan. Selain itu, dengan anak merantau untuk studi dan orang tua menyuplai semua dana, orang tua menjadi seolah-olah diposisikan sebagai mesin penghasil nafkah. Hal itu tentu tidak humanis.

Dengan pilihan manapun dari kedua kasus, anak pasti memiliki uang, yang bisa digunakan untuk berfoya-foya. Dari kasus bekerja paruh waktu, uang bisa berlebih. Dari kasus semua dana disuplai, mustahil mendapat dana terlalu sedikit. Dari sana, ia dapat pamer karena telah membeli berbagai barang dengan harga selangit, misalnya dengan membeli tas dengan merk Louis Vuitton, atau jam tangan dengan merk Gucci. Namun, hal itu mungkin sengaja dilakukan agar bisa terekspos pada teman-temannya. Buktinya? Sangat jarang, kalau tidak bisa dibilang tidak ada, pelajar menggunakan kelas bisnis atau lebih tinggi saat ke tempat asal atau saat kembali ke tempat belajar, padahal kelas bisnis juga bisa dijadikan simbol kemewahan, seperti barang dengan merk terkemuka. Pergi ke tempat makan bertarif menengah pun sudah pasti bersama, sehingga paling tidak ada kesan di mata teman-temannya, atau semata karena persahabatan? Itu di luar bagian saya, namun setidaknya saya sering pergi sendiri, dibandingkan dengan pergi bersama, walau saya masih di Indonesia. Dari sana, bisa ditangkap kesan bahwa ada dari mereka yang memanfaatkan studi di luar negeri untuk pamer. Saya merasa iba dengan siswa-siswa yang lebih potensial dan bersahaja, namun terpaksa mengalah karena mereka yang pergi untuk pamer.

Saya menyarankan bagi calon pelajar internasional untuk merenungkan kembali tujuan pergi ke luar negeri dengan alasan menimba ilmu. Bila hendak pamer, di Indonesia saja, sudah ada jutaan pasang mata yang siap melihat anda memamerkan harta. Selain itu, dengan sangat membatasi bekerja paruh waktu dan memprioritaskan studi akan mencegah terperosok dalam tindakan pamer. Bagi orang tua dari anak-anak yang berniat meneruskan studi di luar negeri, saya juga menyarankan agar mengarahkan anaknya ke jalan yang benar dan memilih benar-benar berdasar keinginannya, yang disertai niat yang kuat. Untuk yang sudah terlanjur di luar negeri? Manfaatkan apa yang didapat dengan sebaik-baiknya. Saya berharap bahwa apabila hal-hal tersebut dilaksanakan, mutu pendidikan akan semakin membaik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun