Mohon tunggu...
Erick Hilaluddin
Erick Hilaluddin Mohon Tunggu... -

Peminat masalah pendidikan, sosial, politik, dan pemikiran keagamaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berkurban Atau Membantu Korban Bencana?

15 November 2010   07:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:36 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak lama lagi umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Idul Adha. Salah satu ritual yang khas pada hari raya Idul Adha adalah adanya penyembelihan sejumlah hewan untuk kemudian dibagikan kepada orang-orang tidak mampu. Ritual tersebut dikenal dengan istilah kurban.

Secara ontologis, tradisi kurban sudah dimulai pada zaman Nabi Adam yang memerintahkan kedua anaknya Habil dan Qabil untuk berkurban. Tradisi tersebut berlanjut pada zaman Nabi Ibrahim yang mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail. Walaupun pada detik-detik penyembelihan, Ismail diganti oleh Allah dengan seekor hewan.

Filosofi dari penyembelihan Ismail putra Nabi Ibrahim adalah kepatuhan dan kepasrahan total seorang hamba pada Tuhannya. Harta paling berharga Ibrahim adalah anaknya. Ia mendapatkan Ismail, buah hatinya, setelah menunggu lama.

Pada saat Idul Adha akan ada ribuan bahkan jutaan hewan kurban yang disembelih untuk kemudian dibagikan. Tidak hanya kepada orang-orang yang tidak mampu, tapi juga yang mampu. Idul Adha adalah hari yang istimewa bagi mereka karena bisa menikmati daging gratis sepuasnya. Pendeknya, hari raya Idul Adha adalah pesta daging, setidaknya selama empat hari, mulai tanggal 10 hingga 13 Dzulhijjah.

Sayang nya, kehadiran Idul Adha tahun ini berbarengan dengan terjadinya berbagai bencana yang terjadi di Indonesia secara beruntun. Ada banjir bandang di Wasior, Papua Barat, disusul gempa dan tsunami di mentawai, Sumatra Barat, dan terakhir letusan Gunung Merapi di Magelang, Jawa Tengah.

Berbagai bencana tersebut tentu saja menyeababkan lahirnya penderitaan baru bagi mereka yang terkena bencana. Di antara penderitaan para korban bencana adalah rusaknya ratusan tempat tinggal dan sarana infrastruktur lainnya yang memaksa mereka harus rela hidup di berbagai barak pengungsian yang jauh dari layak. Kekurangan air bersih, timbulnya berbagai penyakit, dan kekurangan bahan makanan merupakan konsekuensi dari kehidupan di barak pengungsian.

Alangkah tidak elok apabila sebagian umat Islam yang tidak terkena bencana merayakan Idul Adha dengan mengkonsumsi daging hewan kurban, sedangkan pada saat yang sama, ada ribuan pengungsi yang membutuhkan kebutuhan-kebutuhan pokok hanya sekedar untuk bertahan hidup.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka di sebagian kaum muslimin adalah, apakah tidak sebaiknya sebagian kaum muslimin yang hendak berkurban mengalihkan niatnya untuk membantu korban bencana alam yang memang sangat membutuhkan? Kalaupun tetap mau berkurban, mungkinkah mengganti hewan kurban dengan sejumlah uang untuk kemudian dibelikan berbagai kebutuhan untuk para korban bencana?

Dahulukan yang Menjadi Prioritas

Kalau disederhanakan, dua pertanyaandi atas akan berbunyi seperti ini. Pertama, mana yang harus didahulukan, berkurban atau membantu korban bencana. Kedua, mungkinkah mengganti hewan kurban dengan uang.

Secara bahasa, kurban berasal dari kata qaraba yaqrabu qurbanan. Biasanya dalam bahasa Arab kalau satu kata diakhiri dengan alif dan nun berati sempurna. Qara-a yaqra-u qiraatan qur'anan, bacaan yang sempurna; irfaanan, pengetahuan yang sempuna; qurbaanan, pendekatan yang sempurna.

Bicara soal kurban, kita jangan menganggap bahwa menyembelih hewan adalah satu-satunya cara untuk mendekatkan diri kepada Allah secara sempurna. Cara lain yang bisa kita lakukan adalah membantu orang yang sedang membutuhkan bantuan dan uluran tangan kita.

Saat ini ada ribuan pengungsi yang sangat membutuhkan bantuan. Maka sangat bijaksana apabila kita mendahulukan membantu korban bencana daripada berkurban dalam arti menyembelih hewan. Walaupun tenteu saja melakukan keduanya secara bersamaan lebih ideal.

Prof. Dr. Quraish Shihab memberikan penjelasan tentang hal itu. Menurut beliau membantu korban bencana harus didahulukan daripada berkurban dalam arti manyembelih hewan. Untuk memperkuat argumentasinya beliau menungungkapkan sebuah cerita yang ada kaitannya dengan hal itu. Dulu, Ibnul Mubaraq pergi haji sunah (berhaji untuk ke sekian kali). Di tengah jalan dia bertemu seorang anak perempuan sendirian mengambil seekor burung yang baru mati. Lalu dia bertanya kepada anak perempuan itu, ''Hai kenapa kau ambil burung yang sudah mati?'' Perempuan kecil itu menjawab, ''Saya sudah tiga hari tidak makan sementara di rumah saya punya adik-adik yang kelaparan karena tidak ada yang bisa dimakan.'' Apa yang dia lakukan? Dia batalkan hajinya, uang buat ongkos perjalanan hajinya dia berikan kepada anak itu. Itu prioritas.

Kita ini biasa beragama itu tidak melihat apa yang prioritas. Kita biasa beragama melaksanakan seperti apa yang kita sukai bukan seperti apa yang disukai Allah. Secara syariat mungkin sudah betul tapi ada yang jadi prioritas utama. Boleh jadi substansinya belum masuk atau boleh jadi substansinya sudah masuk tapi ada yang lebih penting.

Terobosan Baru

Kondisi Indonesia yang sedang dirundung duka akibat bencana membuat gagasan mengganti hewan kurban dengan uang, kembali mengemuka. Alasannya cukup masuk akal, orang yang tidak mampu, khususnya para korban bencana cenderung merasa terbantu dengan adanya uang daripada daging kurban.

Sebenarnya gagasan mengganti hewan kurban dengan uang sebenarnya bukan hal baru dalam khazanah pemikiran Islam. Beberapa pakar, seperti Prof. Atho Muzhar, Jakarta dan Prof. Afif Muhammad, Bandung pernah mengungkapkan gagasan ini. Alasan yang mereka sampaikan cukup simpel. Potensi hewan kurban di Indonesia cukup besar. Jika dibayar dengan uang, kemungkinan penanganannya lebih mudah dan bernilai manfaat lebih besar.

Salah satu kitab yang dijadikan rujukan adalah kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, setidaknya ada isyarat bahwa dua sahabat Nabi melakukan kurban dengan sejumlah uang dan seekor ayam. Riwayat tersebut menuturkan bahwa Ikrimah pernah diberi uang dua dirham oleh Ibnu `Abbas untuk membeli daging, dengan pesan, "Terhadap orang yang bertemu denganmu (dan menanyakan ihwal daging ini), katakan kepadanya bahwa ini adalah (daging) kurban Ibn `Abbas". Riwayat lainnya mengatakan bahwa Bilal pernah berkurban dengan seekor ayam jantan.

Dengan alasan bahwa kedua dalil tersebut dianggap lemah, kedua tokoh tersebut terkesan “malu-malu” untuk sampai pada kesimpulan bahwa mengganti hewan kurban dengan sejumlah uang hukumnya boleh. Prof. Afif Muhammad, misalnya hanya mengatakan terdapat peluang untuk mengganti hewan kurban dengan uang atau beras. Itulah mungkin yang menjadi penyebab belum ada orang di Indonesia yang berkurban dengan uang.

Dengan demikan, memberikan bantuan bagi orang yang sedang membutuhkan dan berkurban dengan melakukan penyembelihan hewan kurban atau menggantinya dengan uang merupakan dua hal yang substansinya sama, yaitu melakukan pendekatan kepada Allah secara sempurna. Persoalan mana yang harus didahulukan, tergantung pada hal mana yang menjadi prioritas. Salah satu qaidah ushul fiqih berbunyi, “Dar ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih.” Menghilangkan sesuatu yang mendatangkan kerusakan (mafsadat) harus didahulukan daripada melakukan sesuatu yang akan mendatangkan kebaikan (maslahat). Wallahu a’lam bishawab

Erick Hilaluddin


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun