Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah salah satu instrumen pajak penting yang dibayarkan masyarakat atas kepemilikan tanah dan bangunan. Menurut artikel "Fenomena Kenaikan PBB di Sejumlah Daerah di Indonesia" (Pojok Jakarta, 16 Agustus 2025), PBB menjadi sumber utama penerimaan yang sebagian besar dialokasikan kembali untuk pembangunan daerah, termasuk infrastruktur dan pelayanan publik. Namun, kenaikan PBB yang cukup signifikan akhir-akhir ini menimbulkan kebingungan, bahkan kekhawatiran pada masyarakat---terutama rumah tangga dengan penghasilan terbatas. Dalam konteks ekonomi pembangunan, pajak itu sendiri bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang produktif dan merata. Jika pengeluaran tersebut tidak dirasakan langsung manfaatnya, maka kenaikan pajak, termasuk PBB, bisa menjadi beban psikologis dan finansial yang mengikis kepercayaan publik.
Salah satu penyebab utama kenaikan PBB adalah penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) agar mencerminkan nilai pasar tanah dan bangunan yang sebenarnya. Di daerah perkotaan yang berkembang cepat, harga properti pun melonjak drastis, sehingga NJOP mengikuti kenaikan ini, dan akhirnya PBB yang dibayar masyarakat pun naik. Artikel Pojok Jakarta menyebut bahwa pemerintah daerah secara berkala melakukan pembaruan NJOP agar sesuai dengan pasar. Pojok Jakarta Pengeluaran pemerintah dari tambahan penerimaan ini seharusnya diarahkan pada proyek-proyek infrastruktur yang memberi efek domino positif---seperti perbaikan jalan, drainase, transportasi publik---agar produktivitas daerah meningkat dan biaya ekonomi masyarakat berkurang.
Kebutuhan anggaran daerah menjadi faktor kedua yang tak bisa diabaikan. Pemerintah daerah membutuhkan dana yang lebih besar untuk membiayai pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, dan layanan publik yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Artikel tersebut menyebut bahwa PBB sering dijadikan instrumen untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna menutup kekurangan anggaran daerah. Pojok Jakarta Dalam ekonomi pembangunan, PAD yang kuat adalah modal penting untuk kemandirian fiskal daerah, agar tidak terlalu bergantung pada transfer pusat. Namun, keberhasilan PAD ditentukan tidak hanya oleh seberapa besar penerimaan, tetapi bagaimana pemerintah mengelola pengeluaran publik agar efisien dan tepat sasaran.
Respon masyarakat terhadap kenaikan PBB yang dilaporkan Pojok Jakarta (16 Agustus 2025) mencerminkan konsekuensi nyata dari pengeluaran pemerintah yang belum dirasakan manfaatnya secara merata. Masyarakat mengeluhkan beban finansial rumah tangga yang meningkat, khususnya bagi kelas menengah ke bawah, sementara bagi pemilik properti lama di kawasan berkembang, kenaikan nilai properti tidak otomatis diikuti dengan keuntungan langsung---tetapi mereka tetap harus membayar pajak lebih tinggi. Pojok Jakarta Fakta ini penting jika kita kaitkan dengan prinsip ekonomi pembangunan, yaitu pertumbuhan yang inklusif dan pengeluaran publik yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika pengeluaran pemerintah dari penerimaan PBB diarahkan secara adil dan transparan---misalnya dengan memperbaiki fasilitas pendidikan di desa, memperkuat layanan kesehatan, dan membangun infrastrukturnya yang mendukung mobilitas ekonomi---maka kenaikan PBB bisa menjadi investasi pembangunan, bukan beban. Sebaliknya, tanpa arah pengeluaran yang jelas, kenaikan pajak hanya akan memperbesar ketidakpuasan dan kemiskinan relatif di kota-kota yang berkembang pesat.
Pemerataan kewajiban pajak menjadi argumen yang sering diutarakan pemerintah daerah dalam kenaikan PBB seperti yang dijelaskan artikel tersebut. Pemilik tanah dan bangunan bernilai tinggi diharapkan ikut menanggung beban pajak lebih besar dibanding properti sederhana. Pojok Jakarta Dari sisi ekonomi pembangunan, ini adalah prinsip keadilan vertical --- seseorang yang lebih mampu membayar pajak lebih besar untuk mendukung layanan publik yang juga dinikmati oleh masyarakat luas. Namun, agar prinsip ini efektif dan diterima, pengeluaran pemerintah harus responsif terhadap kebutuhan masyarakat miskin dan menengah. Misalnya, saluran subsidi atau keringanan harus ada agar jangan sampai prinsip keadilan malah menjadi diskriminatif secara ekonomi karena tidak diperhitungkannya kapasitas ekonomi warga.
Transparansi perhitungan NJOP dan mekanisme kenaikan PBB adalah aspek penting yang disorot dalam artikel Pojok Jakarta. Pemerintah daerah yang melakukan sosialisasi bagaimana NJOP dihitung dianggap lebih adil dan dapat mengurangi konflik dengan masyarakat. Pojok Jakarta Dalam ekonomi pembangunan, kepercayaan publik terhadap pemerintah adalah modal sosial yang sangat krusial. Pengeluaran pemerintah yang transparan dan akuntabel meningkatkan legitimasi fiskal, yang pada akhirnya ikut memperkuat kepatuhan pajak. Sebaliknya, jika masyarakat merasa dipaksa tetapi tidak melihat manfaat atau tidak memahami dasar kenaikan pajak, kemungkinan besar akan ada resistensi, delay pembayaran, atau bahkan protes sosial.
Pengeluaran pemerintah, terutama dari tambahan PBB, harus memperhatikan kelompok rentan. Artikel menyebut bahwa beberapa daerah memberikan keringanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, lansia, atau veteran sebagai bentuk solusi terhadap tekanan kenaikan PBB. Pojok Jakarta Pengeluaran publik yang berpihak kepada kelompok kurang mampu ini sejalan dengan konsep pembangunan manusia (human development) dalam ekonomi pembangunan. Dengan cara ini, kenaikan pajak tidak hanya menghasilkan uang tetapi juga meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Selain itu, opsi pembayaran bertahap PBB yang disediakan oleh beberapa pemerintah daerah, sebagaimana disebut dalam artikel, adalah bentuk pengeluaran pemerintah yang strategis agar beban masyarakat tidak langsung berat. Pojok Jakarta Ini adalah bentuk kebijakan fiskal responsif yang mengakui bahwa masyarakat memiliki ketidakmerataan dalam pendapatan. Dari sudut pandang ekonomi pembangunan, kemampuan untuk memperhalus beban pajak (tax smoothing) lewat cicilan atau tenggat pembayaran yang fleksibel membantu menjaga stabilitas sosial dan memberi ruang bagi konsumsi rumah tangga agar tidak roboh.
Kebijakan pengeluaran pemerintah melalui dana dari PBB juga dapat diarahkan untuk investasi sektor produktif: pendidikan, kesehatan, pengembangan UMKM, serta infrastruktur pendukung ekonomi lokal. Jika pemanfaatan dana pajak hanya untuk belanja rutin tanpa investasi produktif, pertumbuhan ekonomi daerah akan stagnan. Dalam artikel Pojok Jakarta, ditekankan bahwa masyarakat berharap agar kenaikan PBB diimbangi pelayanan publik yang makin baik agar mereka merasakan manfaat nyata. Pojok Jakarta Ini menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah harus diiringi perencanaan yang matang, prioritas pembangunan yang jelas, dan penggunaan anggaran yang efisien agar mendatangkan manfaat ekonomi jangka panjang.
Kesimpulannya, kenaikan PBB seperti yang diulas di artikel Pojok Jakarta adalah fenomena yang tak terhindarkan di daerah berkembang. Tetapi agar peningkatan penerimaan pajak ini menjadi kekuatan dalam pembangunan, bukan pemicu ketidakpuasan, pengeluaran pemerintah harus dikelola dengan bijak. Pemerintah daerah perlu menyeimbangkan antara kebutuhan pendanaan pembangunan dan kemampuan masyarakat untuk membayar pajak. Pengeluaran harus transparan, tepat sasaran, adil, dan memberi manfaat nyata. Jika pemerintah berhasil memastikan bahwa setiap rupiah dari PBB kembali ke masyarakat dalam bentuk kualitas layanan publik, infrastruktur yang lebih baik, dan dukungan bagi kelompok rentan, maka PBB akan menjadi instrumen pembangunan yang memperkuat ekonomi daerah, bukan hanya sekadar pungutan pajak.
Referensi : https://pojokjakarta.com/2025/08/16/fenomena-kenaikan-pbb-di-sejumlah-daerah-di-indonesia/