Mohon tunggu...
Erenzh Pulalo
Erenzh Pulalo Mohon Tunggu... Guru - Akun Baru
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mencoba Menulis

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Kami Melantai, di Mana Hak Kami?

13 Desember 2022   09:02 Diperbarui: 13 Desember 2022   09:35 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Kesejahteraan penduduk sudah tentu bagian dari program kerja setiap pemimpin daerah, entah siapa pemimpinnya dan bagaimana latar belakangnya, tujuan utamanya adalah melihat kesejahteraan masyarakat lokal. 

Berbagai daerah termasuk Papua tentu memiliki ciri khas tersendiri untuk dikatakan sejahtera. Masyarakat Papua hingga saat ini masih bertanya-tanya arti kesejahteraan itu. 

Pada pemilihan umum saja, para kepentingan mengejar sepotong roti suara rakyat hingga mengaum tanpa henti, ketika sudah mendapatkannya ia memanfaatkan kursi pemerintahannya untuk memperkaya diri dan istri mudanya tanpa melihat jeritan tangis masyarakat kecil. 

Teriakan demi teriakan terus menggema, tetapi para politikus sudah hasrat membabibuta menggunakan uang rakyat untuk kesenangannya dengan berjudi dan nongkrong di bar. 

Lalu tangisan minor rakyat Papua yang menjerit kesakitan karena ingin setetes air susu, tetapi dimana mereka yang dahulu mencari rakyat seperti kucing kelaparan yang sudah nyaman menutup telinga mereka dengan satu koin seribu untuk menutup telinganya. 

Kini, masyarakat Papua mau bekerja dan mencari uang untuk sebutir beras dan segelas susu tetapi hasil kebun yang dibawa entah diletakkan dimana, kala tempat jualan mereka terus diintimidasi. 

Kami Melantai, Dimana Hak Kami. ? 

Kami melantai, dimana hak kami. ? Itulah pertanyaan yang terus dilontarkan mama-mama Papua yang berjualan di Pasar Tahara Sentani. 

Dengan luas 30 x 40 centimeter menjadi tempat kecil mama-mama Papua mengadu nasib untuk mendapatkan seribu agar bisa menyekolahkan anak dan membeli beras untuk makan sehari. 

Tanah dan kekayaan milik kami tetapi kami tidak menikmatinya, kami hanya berjualan sayur dan sagu beralasan tanah. 

Dimana pemimpin kami yang tiap pemilu selalu hadir dengan janji manisnya. Kami akan mensejahterakan kalian, itu kata mereka, tetapi kala terpilih mereka memanfaatkan untuk berjudi dan berbisnis, tetapi kami tetap melantai dengan jualan kami. 

Seikat sayur dan setumpuk ubi sudah cukup untuk bisa dijual agar kami bisa seperti saudara kami yang sekolah hingga memperoleh gelar. 

Jeritan dan tangisan mama-mama Papua akan terus terdengar hingga ada pemimpin Papua yang bisa mendengar dan membasuh air matanya. 

Otonomi khusus hanya simbolik saja bagi rakyat jelata, para pemimpin memanfaatkan itu untuk memperkaya dirinya. 

Memanfaatkan nama rakyat Papua yang ingin Otsus diperpanjang hingga pada jilid II tetapi itu hanya drama, kepentingan dan memperkaya diri sendiri melalui Otsus adalah tujuan utama mereka. 

Tahun 2024 bakal ada pemilihan pemimpin baru, rakyat sudah cukup dimanfaatkan, sekarang dan lihatlah sosok yang benar-benar mencitai rakyat Papua seperti saudara kandung tanpa melihat suku, agama dan ras. 

Mencari sosok orangtua yang mau menderita bersama rakyat dan mau bahagia bersama rakyat Papua. Kami tak mau lagi berjualan melantai, tetapi sediakan tempat jualan kami yang layak, bersih dan sehat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun