Mohon tunggu...
Politik Artikel Utama

Membagi Kursi Menterinya; Manakah Janji yang Didustakan?

23 November 2015   09:13 Diperbarui: 23 November 2015   13:51 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“The fundamental cause of trouble is that in the modern world the stupid are cocksure while the intelligent are full of doubt”  ~ Betrand Russel

Dalam politik, menyelesaikan suatu permasalahan adalah suatu keharusan. Politik merupakan cara yang digunakan oleh seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Jika kita berbicara mengenai konteks sebuah negara, tentu yang menjadi tujuan politik tersebut adalah kekuasaan. Dewasa ini, Indonesia telah mengalami tujuh kali pergantian kepemimpinan dan selama tujuh kali kepemimpinan tersebut telah banyak hal yang terjadi dalam masa transisi maupun masa kepemimpinan itu berlangsung. Dalam proses pergantian atau transisi suatu kepemimpinan tersebut, seorang politikus atau orang yang berprofesi di bidang politik akan sangat sering mengumbar janji manis kepada rakyat yang akan memilihnya, baik pendukungnya maupun orang-orang awam yang belum tahu siapa dia.

Kampanye dengan mengumbar janji manis memang masih dirasa efektif. Meskipun banyak orang tahu bahwa banyak janji-janji yang dikampanyekan oleh para politikus tersebut hanya bersifat sementara, persuasi sementara, agar rakyat memilih mereka saat pemilihan umum. Pada tahun 2014 lalu salah satu Calon Presiden yang saat ini terpilih menjadi presiden yakni bapak Joko Widodo juga melakukan kecenderungan yang sama, kampanye janji manis kepada masyarakat. Banyak janji yang disuarakan dalam kampanyenya termasuk merampingkan kabinet dan tidak membagi-bagi kursi menteri kepada partai politik pendukungnya saja. “Yang namanya negara besar harus dibangun bersama-sama.

Tapi tidak dengan cara-cara nego kursi menteri”, kata Jokowi kepada pers pada Senin, 31 Maret 2014. Kalimat tersebut merupakan sedikit kutipan wawancara Jokowi saat namanya santer dikabarkan akan menjadi Calon Presiden dari PDI-P. Masyarakat tentu sangat berharap Jokowi menepati janjinya ini. Akan tetapi saat Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla resmi mengumumkan susunan kabinetnya yang dinamakan Kabinet Kerja pada tanggal 26 Oktober 2014 di Istana Negara, Jakarta, dari 34 kursi menteri di Kabinet Kerja, sebanyak 15 orang dari partai politik anggota koalisi, dan 19 orang dari kalangan profesional yang beberapa merupakan tim sukses Jokowi-JK.

Permasalahan bagi-bagi kursi menteri kepada partai politik pengusungnya tidak dapat dilihat hanya dari sudut pandang rakyat yang merasa ditipu, akan tetapi harus dianalisa lebih luas lagi. Sesungguhnya, Jokowi telah menepati janjinya. Janji kepada siapa? Tentu kepada partai politik yang bergabung dengannya. Ini politik, Saudara! Politik sarat akan kemungkinan. Calon Presiden dan atau Wakil Presiden boleh mengumbar janji setinggi apapun. Akan tetapi jika kenyataannya suatu partai politik harus membuat koalisi, tidak ada pilihan lain selain “menuruti” keinginan partai-partai yang bergabung jika ingin tetap bisa derdiri tegak dalam kancah perpolitikan Indonesia yang penuh dinamika ini. Dalam koalisi partai politik tentu terdapat perjanjian-perjanjian antar partai.

Salah satunya seperti yang penulis kutip dari Koran Kompas edisi 7 Oktober 2014 tentang Surat Perjanjian PPP yang memutuskan bergabung dengan koalisi Jokowi-JK, yaitu suatu partai politik tidak akan mendukung partai atau fraksi lain selain dari partai dan atau fraksi yang tergabung dalam koalisi tersebut. Demi dapat mencalonkan Presiden dan atau Wakil Presiden, suatu partai yang mengusung Calon Presiden harus “membayar mahal” partai politik yang bergabung dengannya atau orang-orang yang terlibat menjadi tim suksesnya dengan sebuah “posisi” di Pemerintahan.

Mengapa suatu partai politik perlu berkoalisi dengan partai politik lain untuk dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden? Hal ini dikarenakan di Indonesia ini terdapat sebuah sistem pemilu, yakni Presidential Threshold yang merupakan sebuah mekanisme yang dibuat untuk partai politik yang ingin mengajukan Calon Presidennya. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Pada kenyataannya, berdasarkan hasil Quick Count pemilihan legislatif 2014, menunjukkan bahwa tidak ada satupun partai politik yang mampu mengusung Calon Presidennya sendiri dikarenakan perolehan suara yang dibawah 20 persen. Sehingga partai politik yang ingin mencalonkan Presiden diharuskan melakukan koalisi, tak ketinggalan pula PDI-P yang memperoleh suara hanya sekitar 19 persen. Tujuannya tentu agar jumlah suara gabungan antar partai politik tersebut dapat memenuhi syarat untuk mengusung Calon Presiden, yaitu sebesar 25 persen perolehan suara nasional atau 20 persen perolehan kursi DPR-RI.

Merasa dibohongi yang dialami masyarakat Indonesia yang bukan semata-mata kesalahan Jokowi yang tidak menepati janji. Melainkan kekurangtahuan masyarakat Indonesia mengenai dunia politik dan permainan-permainan yang terjadi didalamnya. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan? Menghapuskan sistem Presidential Threshold yang berlaku saat ini. Hal ini dikarenakan sistem tersebut sangat tidak relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang minim pengetahuan tentang politik. Jika sistem Presidential Threshold dihapuskan, maka tidak wajib bagi partai politik untuk berkoalisi jika suara yang diperoleh kurang dari 20 persen dan atau 25 persen.

Sehingga tidak ada janji-janji politik antar partai, yang ada hanyalah janji Calon Pemimpin dengan rakyatnya. Partai politik yang ingin mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu “membayar hutang” kepada partai yang membantunya dengan posisi-posisi tertentu di Pemerintahan. Tak mudah bagi setiap Presiden dukungan partai koalisi untuk melakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun