K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah padan tahun 1912 di Yogyakarta dan sampai sekarang Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Sejak berdiri Muhammadiyah telah berperan sebagai perintis dalam gerakan pembaruan Islam. Muhammadiyah memiliki sejarah yang panjang dalam dakwah dan transformasi sosial keagamaan. Muhammadiyah sering menghadapi dinamika internal dan eksternal yang membutuhkan penegasan tujuan perjuangannya. Salah satu momen penting dalam sejarah organisasi Muhammadiyah  adalah pembentukan Khittah Surabaya pada tahun 1978. Khittah Surabaya ini membentuk garis besar perjuangan Muhammadiyah di era kontemporer. Khittah  Surabaya ini membentuk dasar Muhammadiyah sebagai organisasi yang bekerja untuk membangun peradaban melalui pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat
Khittah Surabaya muncul sebagai tanggapan atas perubahan internal yang terjadi setelah penerapan Khittah Ujung Pandang pada tahun 1971. Setelah transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah Soeharto menerapkan kebijakan yang membatasi untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Pada tahun 1973, pemerintah melakukan fusi partai politik, mewajibkan semua partai Islam untuk bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan partai non-agama digabungkan ke PDI. Akibatnya, Golkar berkembang menjadi mesin politik yang mendominasi rezim. Kebijakan ini menyebabkan organisasi massa Islam seperti Muhammadiyah dan NU dipaksa untuk bergabung dengan PPP atau tetap independen dengan berkonsentrasi pada aktivisme non-politik.
Pada saat itu, dukungan resmi Muhammadiyah terhadap Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) menyebabkan perselisihan internal yang mendalam. Ini mendorong sebagian besar anggota Muhammadiyah untuk kembali ke Khittah Ponorogo (1969) yang lebih stabil, sebelum Khittah Surabaya dibuat sebagai penggantinya.
Secara praktis, Khittah Surabaya berfungsi sebagai pedoman untuk perilaku dan pengambilan kebijakan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan organisasi. Selain itu, Khittah Surabaya  berfungsi sebagai referensi untuk menanggapi perubahan zaman dan tantangan masyarakat, sambil mempertahankan identitas dan tujuan utama organisasi. Pada tahun 1978, Kiai Haji Abdur Rozak Fachrudin memimpin Khittah Surabaya. Menekankan bahwa organisasi Muhammadiyah ini secara resmi mendeklarasikan netralitas politik dan fokus pada penguatan institusi sosial. Keputusan ini didukung oleh mayoritas kader, terutama generasi muda yang memandang politik praktis sebagai ranah yang korup dan kontraproduktif.
      Menurut Khittah Surabaya,  Muhammadiyah adalah organisasi yang bergerak pada dakwah Islam yang mencakup  pada  semua aspek kehidupan manusia baik individu maupun masyarakat. Muhammadiyah  tidak berasosiasi dengan partai politik atau organisasi apa pun. Setiap anggota Muhammadiyah dapat memilih untuk bergabung dengan organisasi apa pun yang mereka inginkan, asalkan organisasi tersebut tidak bertentangan dengan anggaran dasar, rumah tangga, atau negara.
Khittah Surabaya tahun 1978 menegaskan kembali identitas Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah Islam yang mandiri dan berfokus pada kesejahteraan umat. Muhammadiyah terus menjalankan peran sosial, pendidikan, dan keagamaan di tengah masyarakat Indonesia yang terus berkembang dengan menghindari politik praktis. Khittah ini menjadi warisan pemikiran yang relevan dan menjadi pedoman bagi semua anggota Muhammadiyah dalam menghadapi perubahan zaman.
Khittah Surabaya menekankan tiga prinsip utama:
1. Kembali ke Identitas Dakwah yaitu  organisasi Muhammadiyah merupakan  organisasi yang berkiprah pada  dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah, yang dilakukan dengan pendekatan kultural.
2. Netralitas Politik yaitu Organisasi Muhammadiyah tidak berasosiasi  atau berhubungan dengan partai politik mana pun. Namun, anggota dapat berpartisipasi dalam politik selama mereka tidak mewakili Muhammadiyah.
3. Penguatan Lembaga Sosial-Pendidika yaitu  Pengembangan rumah sakit, sekolah, dan program pemberdayaan ekonomi umat  diprioritaskan.