Mohon tunggu...
Enjang Muhaemin
Enjang Muhaemin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Enjang Muhaemin, selain menjadi wartawan, juga sebagai staf pengajar di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cinta Vs Rasionalisasi

14 Juli 2011   14:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:40 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjadi muslim yang baik, sungguh tidaklah gampang. Ilmu boleh tinggi, wawasan boleh luas. Tapi hati-hatilah, tingginya ilmu dan luasnya wawasan bukanlah jaminan untuk menjadi muslim yang baik. Bahkan bukan tak mungkin justru menjadi muslim yang durhaka.
Ketaatan dan kepasrahan dalam menerima ajaran Islam membutuhkan syarat: cinta. Otak boleh encer, wawasan boleh seluas lautan, tapi bila tak ada cinta, jangan berharap bisa menjadi muslim yang taat, muslim yang baik. Cinta terhadap Islam, cinta terhadap Rasulullah, dan cinta terhadap Allah menjadi syarat penentu berhasil tidaknya seseorang menjadi muslim yang baik.

Bila cinta sudah tumbuh, apa pun yang dititahkan, dan apa pun yang dilarang tak akan dibantah. Akan cepat dilaksanakan dengan penuh ketaatan. Namun, bila di hatinya tak tertanam cinta, jangankan untuk melaksanakan, sekadar membenarkan ajaran pun sulitnya minta ampun. Logikanya terus bermain mencari alasan untuk membantahnya. Bila ini terjadi muncullah apa yang disebut rasionalisasi: mencari-cari alasan yang masuk akal untuk mengelak dari apa yang dititahkan Allah dan rasul-Nya.


Rasionalisasi, diakui atau tidak, tumbuh subur di kalangan orang yang merasa dirinya pandai. Mencari pembenaran agar keengganan melaksanakan syariat terlihat seperti rasional. Ini terjadi akibat hatinya gersang. Benih-benih cinta tak lagi tumbuh. Cinta terhadap Ilahi kelompok ini, lenyap ditelan egoisme intelektual yang tumbuh lebih dominan. Islam sebagai ajaran, dipilih dan dipilah: mana yang merugikan, mana yang menguntungkan; mana yang meringankan, mana yang memberatkan. Standarnya sangat subyektif: hawa nafsunya menjadi ukuran.


Kini kita bisa paham menjadi muslim yang baik memang tidak mudah. Perlu ada cinta di hati kita: cinta terhadap Allah dan rasulnya. Bila cinta sudah tumbuh, insya Allah apa pun yang digariskan Islam akan dilaksanakannya dengan penuh ketaatan dan tanggung jawab. Ia tak akan takut, juga takan membantah. Rasionalisasi tak ada dalam kamus hidupnya.


Selama itu ajaran yang digariskan Islam, ia takkan mengelak, apalagi harus menilainya sebagai tindakan tidak manusiawi. Bahkan, karena cinta pada Allah dan rasulNya jauh lebih besar dibanding kecintaan terhadap dirinya, apa pun titah dan perintah yang digariskan Islam akan dilaksanakannya dengan ikhlas dan dengan senang hati.


Firman Allah dalam Al-quran, surat Ali Imran ayat 31 dipegang teguh dan diyakininya dengan sepenuh hati. “Katakan (hai Muhammad), ‘Jika kamu betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu dan mengampubi dosa-dosamu.’Dan Allah Mahapenyanyang kepada hamba-Nya.” [] Enjang Muhaemin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun