Terdapat fenomena menarik untuk mencermati ‘budaya’ suap-menyuap di sekitar kita, yang nyaris terjadi di berbagai bidang kehidupan. Termasuk saat rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS). Benarkah kita sudah terjebak 'menuhankan' manusia?
SECARAteologis, Islam telah membebaskan manusia dari penghambaan atas manusia dan makhluk lainnya. Melalui konsep tauhid, manusia secara penuh menjadi makhluk merdeka, yang tidak perlu bergantung pada apapun dan siapapun, kecuali kepada Allah SWT. Tidak ada Tuhan selain Allah, sebuah inti akidah yang seharusnya tertanam kuat di dalam hati setiap muslim.
Islam hanya mengakui Allah semata yang layak menjadi Tuhan manusa. Manusia dengan beragam aksesorisnya--baik karena kedudukannya, kekuasannya, maupun harta bendawinya--sungguh sangat tak layak untuk dituhankan oleh manusia. Namun sayangnya, konsepsi Islam yang telah membebaskan manusa dari penghambaan sesama manusia atau makhluk lainnya, tak lagi menghujam tajam di dalam jiwa umat Islam.
Hingga detik ini, krisis akidah di kalangan umat terus bergulir. Tanpa terasa terbukti kian parah: telah berjalan jauh dari rel yang ditetapkan. Ironisnya, sebuah perilaku syirik--manusia menuhankan manusia lainnya–pun menjadi fenomena keseharian yang terus merusak sendi-sendi kehidupan umat manusia. Rusak sendi akidah, rusak pulalah sendi-sendi kehidupan lainnya.
Fenomena manusia menuhankan manusia muncul dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Manusia-manusia yang memiliki jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan beragam keindahan fatamorgana duniawi perlahan tapi pasti telah diposisikan manusia lainnya menjadi tuhan-tuhan mereka. Mereka dipuji, dipuja, juga dijadikan tempat bergantung. Posisi manusia-manusia yang dianugerahi kelebihan itu layaknya menjadi Tuhan yang layak disembah, diibadahi, dan dijadikan satu-satunya tempat bergantung.
Krisis akidah juga kronis ketika seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) bergulir. Ketatnya persaingan membuat orang menghalalkan segala cara. Indikasi “budaya” suap merebak tak lagi terbendung, bak jamur di musim hujan. Orang-orang ‘berduit’ dan lemah iman ramai-ramai ‘menyembah’ orang-orang pemegang keputusan, dan menjadikannya sebagai satu-satunya tempat bergantung dan memohon pertolongan. Posisinya, bagi sebagian orang, telah didudukkan sebagai tuhan yang bisa menentukan segalanya. Bahkan dianggapnya sebagai penentu dan penguasa tunggal bagi kelulusan menjadi CPNS.
Posisi Allah: Tuhan semesta alam dan Pemilik kekuasaan Mahahebat pun, oleh para pemuja manusia ini, telah digeser ke posisi yang ke sekian. Krisis akidah memang tengah berjalan cukup akut. Kemahakuasaan Allah yang luar biasa pun menjadi gelap di depan mata mereka. Para pemuja manusia telah lupa, juga telah buta. Allah dipandang telah pensiun dari kemahakuasaan-Nya. Manusia-manusia yang diberi keudukan dan kekuasaan oleh Allah, malah dipandang lebih berkuasa. Ini merupakan sebuah refleksi atas krisis akidah yang sungguh amat berbahaya.
Kian menajamnya krisis akidah itu, sayangnya tak lagi mendapat perhatian serius dari orang-orang yang mengaku paham agama. Yang benar-benar paham agama, juga tak sedikit yang tak berkutik. Teu saeutik nu meungpen carang. Parahnya, di kalangan yang mengaku paham agama, tak sedikit yang memandang ‘budaya’ suap yang terjadi di kita bukan sebagai suap, tetapi sebatas balas jasa, yang wajar adanya di tengah persaingan CPNS yang sangat ketat.
Parahnya, ‘fatwa-fatwa’ sesat itu telah begitu memasyarakat dan dijadikan pegangan oleh manusia-manusia yang kadar akidahnya rendah. Padahal, kita tahu, di balik maraknya suap-menyuap itu sesungguhnya tersimpan sinyal kian parahnya akidah umat: penghambaan manusia atas manusia. Ini mestinya menjadi tanggung-jawab kita bersama untuk membalikkan kondisi, dan mengembalikan umat kepada akidah yang lurus. Hanya Allah yang layak disembah, dan hanya Allah yang layak menjadi tempat bergantung.
“Budaya” suap, di samping telah menjerumuskan manusia untuk menghambakan diri kepada sesama manusa, para pelakunya juga telah digolongkan Allah sebagai manusia-manusia yang dikutuk Allah. Nabi Muhammad SAW menegaskan: "La`nat Allah `ala al-raasyi wa al-murtasyi." Artinya: “Laknat Allah atas orang yang menyuap dan yang disuap.” Tsauban berkata, “Rasulullah SAW, melaknat penyuap, yang disuap, dan perantaranya.”
Islam dengan tegas mengharamkan praktik suap. Tentu bukan tanpa sebab, juga bukan tanpa alasan. Selain merusak akidah, juga merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampak lanjutannya bisa merebak ke berbagai bidang kehidupan. Kualitas SDM merosot, kadar keimanan semakin melemah, kehidupan bermasyarakat pun bisa mnenjadi kacau.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam Halal Haram dalam Islam menegaskan tentang betapa bahayanya praktik suap. “Tidaklah mengherankan,” katanya, “Jjika Islam mengharamkan suap dan bersikap keras terhadap semua pihak yang terlibat di dalam praktik itu. Sebab, tersebarnya praktik suap di tengah masyarakat berarti merajalelanya kerusakan dan kezaliman, berupa hukum tanpa asas kebenaran atau keengganan berhukum dengan kebenaran; mendahulukan yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan yang seharusnya didahulukan; juga merajalelanya mental oportunisme dalam masyarakat, bukan mental tanggung jawab melaksanakan kewajiban.”
“Budaya” suap memang harus segera dihentikan. Tentu bukan sebatas retorika, tapi mesti direalisasikan secara konkrit. Praktik suap-menyuap merupakan tindakan yang tak bisa dibiarkan, karena selain menggerogoti prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), juga tanggung jawab. Praktik suap terbukti menimbulkan dampak negatif lanjutan yang parah luar biasa, yang tentunya tak bisa dibiarkan tumbuh menjamur.
Untuk menghadang kian meluasnya praktik suap-menyuap tak mudah memang. Tapi bagaimanapun, ini harus dilakukan. Niat dan tekad Pemerintahan untuk memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) layak mendapat dukungan semua pihak. Para ulama, tokoh-tokoh organisasi dan partai Islam, dan semua pihak yang peduli terhadap kebaikan masa depan bangsa wajib untuk segera mendengungkannya secara membahana.
Lembaga-lembaga dan instansi berlabel agama (apalagi Islam), juga dituntut segera memelopori tindakan nyata, bukan sekadar retorika. Termasuk membersihkan praktik suap-menyuap dalam sistem rekrutmen CPNS. Diam tak bergerak, terlebih membiarkan praktik itu terjadi dalam dirinya, berarti bak menyimpan bom waktu. Ini berbahaya dan bersifat fatal.
Orang-orang yang hendak menyuap juga meski memiliki kesadaran penuh untuk menanggalkan niatnya. Kata seorang bijak, “Lebih baik kalah, dari pada harus harus berbuat salah.” Kata ‘kalah’ dalam konteks ini bisa dimaknai: lebih baik tidak menjadi PNS, dari pada melanggar aturan agama. Masih banyak bidang lain yang jauh menjanjikan masa depan.
Untuk membendung praktik suap-menyuap dalam seleksi CPNS, selain membutuhkan political will dari pemerintah, khususnya para penegak hukum, juga perlunya ditumbuhsuburkan lembaga pemantau independen yang serius memantau jalannya sistem rekrutmen yang bebas kolusi dan nepotisme.
Selain itu, mentalitas menjadi PNS, sedikit demi sedikit juga mesti diturunkan tensinya, sehingga tidak menghalalkan cara untuk meraih kedudukan itu. Para orang tua, juga harus mulai membantu putra-putrinya untuk berjiwa wirausaha, bermental mandiri, dan menjadikan agama sebagai way of life dalam makna yang sesungguhnya.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI