Mohon tunggu...
Enggar Dhian Pratamanti
Enggar Dhian Pratamanti Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Penulis, Pegiat Literasi

Tinggal di Semarang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Keajaiban di "Miracle with You"

25 Maret 2015   07:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:05 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14272447931152000638

Mentari tersenyum cerah. Kemarau masih menyisakan hawa dingin paginya hingga terasa menusuk tulang. Aku sudah siap di depan gerbang sekolah. Ya. Inilah hari pertama di sekolah baruku. Tidak terasa aku sudah melewati masa SMP. Menanggalkan seragam putih biru dan menggantinya dengan seragam putih abu-abu. Aku memilih melanjutkan sekolah di SMK dan mengambil jurusan Rekayasa Perangkat Lunak.

Untuk mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa) aku sudah siap dengan topi berbentuk kerucut yang terbuat dari kertas karton berwarna merah dan dilubangi sebanyak 6 buah sesuai dengan bulan kelahiranku. Rambutku dikuncir sebanyak 6 buah pula yang nantinya akan dimasukkan ke dalam lubang topi tersebut. Rompi yang terbuat dari kertas bekas bungkus semen sudah melekat di badanku dengan dihiasi bungkus makanan ringan yang disusun menyerupai pola sisik ular yang bertujuan agar kertas semen tersebut tidak sobek dan rusak dibasahi keringat. Ditanganku terdapat anting yang berisi kelapa cengkir merah dan buah apel merah. Anting ini bukan anting perhiasan yang biasa dipakai di telinga. Tetapi, sebuah kerajinan yang berbentuk tas dan terbuat dari anyaman bambu. Kelapa cengkir merah, seperti namanya, kelapa ini berwarna semu kemerah-merahan. Di bagian paling bawah aku memakai kaos kaki yang berbeda sebelah. Sebelah kanan berwarna putih dan sebelah kiri berwarna hitam.

Aku duduk sendiri sambil terus memperhatikan teman-temanku yang sibuk mempersiapkan diri di depan pintu gerbang. Hanya ada dua teman yang kukenal di sini. Aku dan dua temanku itu berasal dari SMP yang sama.

Seorang kakak seniorku berjalan mendekati pintu gerbang sekolah dan menyuruh kami masuk karena sebentar lagi apel pagi akan mengawali kegiatan MOS yang segera dimulai. Kesan pertama yang aku dapatkan saat memasuki lingkungan sekolah baruku adalahbahwa sekolah ini lebih pantas disebut sebagai lahan perhutani. Bagaimana tidak, tanah kosong yang berada di tengah bangunan-bangunan kelas yang disebut dengan lapangan upacara itu, disana-sini ditumbuhi pohon jati dan beberapa pohon mahoni. Namun, lebih banyak didominasi oleh pohon jati. Dari pintu gerbang hingga lapangan dan ruangan-ruangan yang lain aku tidak juga menjumpai sebuah lantai yang bernama paving. Semuanya masih murni tanah. Lalu, bagaimana keadaan sekolah ini jika musim hujan tiba? Benar-benar sulit kubayangkan.

Ini adalah SMK terdekat dari rumahku. Satu-satunya SMK di Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Hanya sekitar tujuh kilometer dari rumahku. Bisa dibilang daerah tempat tinggalku adalah daerah pinggiran. Daerah perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Sebenarnya SMK disini kalah pamor dengan SMA. Tapi, aku berpikir dua kali ketika orang tuaku menyuruhku untuk melanjutkan sekolah di bangku SMA karena di SMK aku akan punya keterampilan. Lulusan SMK lebih siap kerja dan tetap bisa melanjutkan kuliah.

Satu hal yang menjadi kekhawatiran orang tuaku bahwa SMK didominasioleh siswa laki-laki. Sering pula dikabarkan siswa SMK terlibat tawuran antar sekolah. Apalagi dengan SMA sebelah. Perselisihan antara SMK dengan SMA di daerahku sepertinya sudah ada sejak dulu dan masih berlanjut hingga sekarang.

Setelah melewati perdebatan yang cukup menegangkan antara aku dan orang tuaku akhirnya aku berhasil meyakinkan mereka bahwa aku bersekolah untuk menuntut ilmu. Bukan mencari masalah dengan orang lain. Masalah image siswa SMK nakal-nakal, anak-anak buangan, atau apa lah itu tergantung pada pribadi masing-masing. Tiap sekolah pasti punya tata tertib. Menuruti atau melanggar adalah keputusan individu. Lagi pula, sebenarnya tidak ada sekolah yang mengajari permusuhan.

Apel pagi dimulai. Bapak kepala sekolah berdiri di depan selaku pembina apel. Upacara berjalan seperti biasa. Dimulai dengan masing-masing ketua barisan menyiapkan barisannya, pemimpin upacara memasuki lapangan, hingga amanat Pembina apel. Bapak kepala sekolah berbicara sepatah, dua patah, tiga patah, hingga lebih. Lumayan membuat kakiku menjadi kram.

Setelah apel pagi selesai kakak-kakak pengurus OSIS dibagi dalam beberapa kelompok untuk mendampingi masing-masing gugus. Gugusku bernama Gugus Ayam. Kami didampingi oleh Kak Melisa dan Kak Ninin. Keduanya sangat ramah. Beruntung sekali rasanya tidak mendapat kakak pembina yang galak. Setelah berbaris aku dan teman-teman satu gugus dibawa ke belakang sekolah oleh Kak Melisa dan Kak Ninin. Kami mencari tempat yang teduh. Diantara semak-semak dan ilalang yang menjulang tinggi serta dikelilingi pohon jati dan beberapa pohon mahoni. Di sana kami duduk melingkar. Dari arah belakangku datang satu kakak pembina lagi. Seorang cowok. Dia lalu berdiri di tengah lingkaran kami.

“Sudah tahu nama saya, Dik?” tanyanya tiba-tiba.

Pertama kali aku melihat kakak pembina yang satu ini aku sudah berfirasat bahwa sepertinya dia cukup menyebalkan. Terlihat dari gaya bicara dan caranya tertawa. Sepertinya dia hobi membuat anak baru menjadi serba salah lalu hukuman menjadi hadiah kami.

“Belum, Kak,” jawab kami serempak.

Bagaimana bisa tahu? Bertemu saja baru kali ini. Ini menambah satu lagi alasanku menyebut sekolah ini agak aneh. Ada penekanan dalam kata “agak”. Berarti belum sepenuhnya aneh lho.

“Berarti kalian di rumah tidak punya TV?” dia tersenyum.

“Nama saya sering muncul di TV. Nama seorang artis terkenal,dia kembali tersenyum dengan tawa yang ditekan.

Mataku beradu pandang dengan dua temanku yang duduk disampingku. Mencari jawaban atas teka-teki yang harus kami pecahkan dari kakak pembina itu.

“Nama saya Sigit. Sama kan dengan nama asli vokalis Ungu?” katanya dengan tawa yang ditahan.

“Hmm....”

Mungkin dipikiran teman-teman satu gugusku ada satu kata yang sama untuk dia yaitu “terlalu pede.

“Baik. Kalian kan sudah tahu nama saya. Sekarang giliran kalian memperkenalkan diri kalian masing-masing,” lanjutnya.

Dimulai dari Zika karena dia satu-satunya anak cowok yang ada di gugusku.

“Nama saya Ahmad Zika. Asal sekolah SMPN 1 Bangilan. Alamat Desa Senori Kecamatan Bangilan,kata Zika memperkenalkan diri.

“Ada yang ditanyakan lagi, Dik? Kalau ada silahkan tanyakan. Tanya apa saja boleh dan wajib dijawab,” tambah Kak Sigit.

“Hobi, Kak,” tanya seorang cewek yang ada di hadapan Kak Sigit.

“Cita-cita, Kak,tambah seorang lagi yang duduk di samping cewek itu.

“Makanan dan minuman favoritnya, Kak.

“Ukuran sepatu, Kak.

“Ukuran baju juga, Kak.

“Nama pacar, Kak.

“Jumlah Pacar, Kak.

“Jumlah dan nama mantannya, Kak.

Ada-ada saja daftar pertanyaan yang mereka buat. Pertanyaan yang usil sih. Tapi, bisa mencairkan suasana yang tadi tegang menjadi lebih santai.

Dengan terpaksa Zika menjawab semua pertanyaan yang diajukan teman-teman. Kalau mungkin sesekali dia bohong juga tidak akan ada yang tahu. Ini sudah cukup menguji mentalnya. Beruntung Zika bukan cowok pemalu. Dia tidak mudah canggung di depan umum. Mental baja. Dia pun mendapat acungan jempol dari Kak Sigit. Coba kalau aku yang disuruh maju ke depan seperti Zika. Keringat dingin pasti membasahi tubuhku. Beruntung ketika giliranku hampir sampai waktu kegiatan sudah habis. Semua peserta MOS dipersilahkan untuk beristirahat. Ugh... lega rasanya. Semoga saja besok Kak Sigit tidak muncul lagi sehingga aku tidak ikut kena apes seperti si Zika. Simpulannya Zika kurang beruntung hari ini.

“Bagaimana kegiatan MOS hari ini?” tanya ibuku sepulang sekolah.

“Lumayan, Bu.

“Lumayan gimana?”

“Ya, lumayan selamat.

“Maksudnya selamat?” ibuku mengerutkan kening.

“Kayaknya ada kakak senior yang hobi banget ngerjain anak-anak baru deh, jawabku.

“Itu sudah biasa. Namanya juga senior, timpal ibuku.

“Untung aku nggak jadi korban usilnya.

“Iya, sekarang kamu lolos. Besok? Siapa tahu kamu dihukum atau disuruh nyanyi BalonkuAda Lima di depan semua peserta MOS,” kata ibuku menakut-nakutiku.

Ah...ibu nakut-nakutin saja, jawabku nyengir.

Ibu tersenyum. Sepertinya ibu puas menakut-nakutiku. Kalaupun iya aku pasti bakal benci dengan kakak senior yang menghukumku itu. Tuhan... semoga saja dia tidak datang lagi besok. Bukankah kakak pendamping gugusku itu Kak Melisa dan Kak Ninin? Bukan dia, tamu tidak diundang dan tidak diharapkan. Ah...lupakan saja hari ini.

[caption id="attachment_405169" align="aligncenter" width="150" caption="Miracle with You by Devie Putri"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun