Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Haruskah Kasus Audrey Kembali Terulang?

11 April 2019   14:14 Diperbarui: 15 April 2019   01:13 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus Audrey terbukti begitu banyak menyita perhatian publik. Baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Entah kalau di dunia lain, karena saya tidak punya kemampuan menerawang sampai ke sana. Audrey adalah bocah perempuan 14 tahun di Pontianak yang menjadi korban perundungan oleh 3 siswi SMA. Tak hanya mengalami luka fisik, tentu juga luka batin yang tidak ringan.  

Mencuatnya kasus ini tentu menjadi hal positif. Begitu banyak orang tua prihatin dan memberikan komentar beragam. Bukti masih banyak warga yang peduli dan memiliki hati nurani pada hal-hal semacam ini.

Disadari atau tidak, perundungan alias bully belakangan sudah menjadi makanan sehari-hari. Di media sosial, begitu banyak konten kurang positif bertebaran di mana-mana. Di sinetron misalnya, begitu nyata perlakuan pada mereka yang belum kaya. Juga perlakuan untuk mereka yang dianggap tidak rajin atau kurang pintar.  

Belum lagi di dunia komedi. Tak sedikit pelawan yang mempertontonkan adegan saling bully agar penonton tertawa. Tak heran jika saling ejek dianggap lumrah dan justru dijadikan komoditas. Tak banyak pelawak tampil cerdas tanpa harus mem-bully.

Begitu juga game alias permainan di telepon pintar, yang secara tidak langsung mengajarkan anak bagaimana 'membunuh' pihak lawan. Begitu kalah, lawan pasti di-bully.

Lebih parah lagi ya ajang Pemilu 2019 kali ini, tak lagi perang program atau saling adu hebat. Yang ada lebih banyak saling hujat dan mengejek. Maka, anak-anak dengan mudahnya terpapar oleh itu semua dan menganggap hujatan dan kebencian atas orang lain adalah hal yang wajar.

Saya tak ingin lebih jauh membahas Pilpres. Nanti pasti dianggap mempolitisir. Apa yang saya sampaikan nyatanya memang ada dan sudah terjadi. Betapa saling benci dan saling olok dianggap lumrah.

Kurang apa negara ini? Sekolah dan tempat ibadah begitu banyak.  Umatnya pun konon dianggap beragama. Tapi kok sanggup berbuat seperti itu? Jangankan mereka yang pendidikannya kurang tinggi. Ulama yang nyata-nyata semestinya disegani pun jadi korban bully. Sebagian malah jadi pelaku bully. Ke manakah hilangnya moral anak bangsa ini?

Lalu bagaimana untuk memperbaiki itu semua? Tak usah bicara terlalu besar dan muluk-muluk. Untuk mengembalikan adat kesopanan, budaya ketimuran dan saling hormat-menghormati serta menyayangi, harus dimulai dari diri sendiri. Mulai dari diri sendiri, kemudian meluas ke tingkat keluarga dan masyarakat. Jika setiap individu melakukannya, niscaya bangsa ini akan kembali santun penuh keramahan.  

Lebih konkret, mari mulai saat ini setiap individu memakai jurus ini: "saya selalu salah, orang lain mungkin benar." Dengan jurus ini, maka setiap individu tak pernah lagi merasa memiliki sebuah kebenaran. Biarlah kebenaran hakiki milik Sang Maha Pencipta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun