Mohon tunggu...
RYAN ZULFADHLI
RYAN ZULFADHLI Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Nepotisme Perekrutan Karyawan, Adilkah?

22 Oktober 2018   13:30 Diperbarui: 22 Oktober 2018   17:01 2081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Karyawan merupakan ujung tombak dari sebuah perusahaan. Dimana perusahaan yang baik tentu saja memerlukan individu-individu yang berkualitas pula. Begitu pula sebaliknya, para jobseeker berusahaan mencari peluang kerja di perusahaan / instansi yang menjanjikan dan sesuai dengan minat serta spesialisasi dari karyawan tersebut.

Tentu saja dalam memilih perusahaan tempat bekerja, para jobseeker akan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan kriteria yang sesuai dengan yang di harapkan. Namun dewasa ini peluang kerja semakin menipis, dimana tidak lapangan pekerjaan tidak mampu menampung seluruhnya para jobseeker.

Sehingga tingkat persaingan sangat tinggi, dan prinsip siapa cepat dia dapat pun mulai di implementasikan dalam applying CV pelamar. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angkatan kerja Indonesia per Februari 2018 mencapai 133,94 juta orang.

Sedangkan tingkat pengangguran 6,87 juta orang penduduk dari total angkatan kerja. Luar biasa banyak bukan ? Bayangkan dengan jumlah lapangan kerja yang sedikit, dan angkatan kerja yang membludak. Bereapa persen tenaga kerja yang dapat terserap.

Bila di lihat secara riil di lapangan masalah tidak hanya ada pada peluang lapangan kerja yang sangat terbatas, ditambah lagi dengan sistem perekrutan pegawai yang beraneka ragam. Menurut T Sondang (2009) calon tenaga kerja / karyawan dapat direkrut melalui dua sumber yaitu dari internal organisasi ataupun eksternal organisasi.

Untuk melalui jalur eksternal bisa melalui lembaga pendidikan, teman/anggota keluarga karyawan, lamaran yang telah masuk, agen tenaga kerja, outsourcing, asosiasi profesi dan karyawan perusahaan lain. Nah, untuk jalur eksternal ini memang yang paling umum adalah melalui lamaran dan kemudian di seleksi sesuai dengan kebutuhan perusahaan dengan tahapan yang beraneka ragam.

Namun disini yang dijadikan persoalan adalah proses transparansi dari seleksi itu sendiri, sehingga unsur Nepotisme menjadi suatu hal yang masih di lakukan dan masih dominan dalam perekrutan karyawan sampai saat ini. Yang menjadi masalah adalah output dari hasil rekrutmen dengan metode "nepotisme" tersebut.

Berkualitaskah karyawan yang direkrut? Atau apakah bisa memberikan kontribusi bagi perusahaan kedepannya. Memang kalau di lihat dengan nepotisme ada hal yang bisa ditekan, yakni biaya perekrutan karyawan. Lewat jalur normal / seleksi biasa, akan banyak cost yang dikeluarkan, mulai dari biaya rekrutmen, penyewaan assesor, atau pun biaya lain yang tentunya akan menguras anggaran perusahaan.

Namun bila kita lihat lebih dalam, dari segi etika? Tentu saja itu melanggar etika dan norma yang ada. Akan banyak pihak yang kecewa dengan sistem perekrutan yang seperti ini.

Apalagi dengan persaingan yang sangat tinggi dan peluang yang sedikit, tentu saja itu sangat berpengaruh ke pencari kerja tersebut, sudah susah-susah melamar ternyata yang di rekrut adalah "orang dalam" yang notabenenya titipan dan kualitasnya belum tentu terjamin dan lebih baik dari para pencari kerja yang lain.

Faktanya perusahaan-perusahaan sampai dengan sekarang masih menerapkan sistem nepotisme dalam perekrutan karyawan. Hal ini terus berlangsung terun temurun dari zaman dulu hingga sekarang dan dipraktekkan oleh perusahaan-perusahaan swasta, BUMD/BUMN maupun instansi pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun