Dari Scroll ke Skill: Cara Generasi Z Menemukan Dirinya Lewat Huruf dan Kata.
Pendahuluan: Dua Sayap yang Rapuh di Era Digital
Di sebuah ruang kelas, seorang dosen bertanya pada mahasiswanya: "Siapa di antara kalian yang membaca buku lebih dari satu bulan ini?" Dari puluhan mahasiswa, hanya tiga tangan yang terangkat ragu. Kemudian ia bertanya lagi: "Siapa yang menulis sesuatu selain chat dan caption minggu ini?" Jawabannya sunyi.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu kampus. Data UNESCO (2012) menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001, artinya hanya satu dari seribu orang yang memiliki kebiasaan membaca serius. Kemampuan menulis kritis pun tak kalah memprihatinkan, mencerminkan budaya literasi yang masih lemah di tengah masyarakat. Generasi Z yang dikenal cepat beradaptasi dengan perubahan (adaptif) dan mahir menggunakan teknologi digital (tech-savvy), justru banyak yang kehilangan dua kemampuan paling mendasar untuk bertumbuh: membaca dan menulis.
Padahal, justru di era digital yang serba cepat dan penuh informasi ini, literasi menjadi senjata utama untuk memilah mana yang benar, mana yang bias, mana yang patut diperjuangkan. Membaca dan menulis bukan hanya keterampilan akademik; ia adalah kemampuan hidup. Lebih dari itu--- memiliki kemampuan membaca dan menulis itu keren.
Mengapa Membaca dan Menulis Itu Keren?
Bayangkan seseorang yang berbicara dengan lugas, penuh percaya diri, karena ia terbiasa membaca dan menyerap banyak wawasan. Bayangkan juga seseorang yang menulis thread inspiratif di Twitter/X (rangkaian cuitan pendek yang membentuk satu cerita utuh, sarat makna, dan mudah dipahami) lalu viral karena berhasil menyentuh hati dan pikiran ribuan orang dalam hitungan jam. Inilah kekuatan literasi: membaca memberimu lensa baru untuk melihat dunia, menajamkan empati, dan memupuk kemampuan berpikir kritis. Sementara menulis melatihmu menyusun gagasan secara logis, merapikan benang pikiran yang kusut, dan mengekspresikan diri dengan berani tanpa takut dinilai. Dua kemampuan sederhana yang memberi dampak besar: bukan hanya bagi dirimu, tapi juga bagi banyak orang yang membaca kata-katamu.
Di era digital, membaca tidak lagi identik dengan buku tebal dan membosankan. Kamu bisa membaca e-book, artikel daring, thread edukatif, atau bahkan podcast transkrip yang membuka wawasan baru. Menulis pun tidak lagi hanya untuk jurnal ilmiah atau esai kampus; kamu bisa menulis opini di Kompasiana, membuat skenario video, hingga postingan yang menyentuh di Instagram.
Pernahkah kamu bertanya, siapa dirimu sebenarnya di tengah riuh dunia yang terus berbicara? Di antara derasnya konten cepat saji yang lewat tanpa jejak, hanya ada satu hal yang diam-diam menegaskan keberadaanmu: kemampuanmu memilih kata dan merangkai gagasan. Perlahan tapi pasti, membaca dan menulis membentukmu jadi pribadi yang berbeda---bukan sekadar penonton yang pasif, tapi seseorang dengan suara, pandangan, dan cerita yang layak didengar. Mungkin selama ini kamu tak sadar, tapi setiap halaman yang kamu baca, setiap kalimat yang kamu tulis, adalah jalan pulang menuju dirimu sendiri.
Strategi Jitu Membumikan Literasi di Era Digital