Ketika aksara Jawa, Sunda, Bugis, dan Bali mulai ditinggalkan, kita kehilangan lebih dari sekadar huruf. Kita kehilangan cara melihat dunia. Ketika sastra tidak lagi dianggap penting, kita kehilangan kemungkinan untuk memaknai ulang hidup ini.
Tulisan adalah jendela jiwa bangsa. Tanpa itu, kita mungkin ada... tapi tak utuh.Â
3. Budaya: Penanda Nilai dan Kehidupan
Budaya adalah cara kita hidup, berpikir, merasakan, menanggapi dunia. Ia hadir dalam tarian, dalam upacara, dalam cara kita menyapa tetangga, bahkan dalam cara kita duduk di warung kopi.
Budaya tidak pernah statis. Tapi ia tidak boleh kehilangan akarnya.
Globalisasi bukan ancaman, asal kita tahu siapa diri kita. Tapi kalau budaya hanya dijadikan tontonan wisata, tanpa pemaknaan, ia akan lapuk perlahan.
Budaya bukan hanya milik masa lalu. Ia harus menjadi laku sehari-hari.
Bukan sekadar dilestarikan --- tapi dihidupkan kembali dalam konteks zaman.
Lalu, apakah tiga penanda ini cukup?
Tidak. Karena bangunan, tulisan, dan budaya tak akan hidup tanpa manusia yang menjaganya.
Bangunan bisa roboh. Tulisan bisa terlupakan. Budaya bisa terkikis.
Tapi selama masih ada MANUSIA YANG SADAR, PEDULI dan BERTINDAK--- peradaban akan terus menyala.
Jadi sebenarnya, penanda terdalam dari sebuah negara adalah kita sendiri. MANUSIA.
Kitalah penjaga makna. Penafsir warisan. Penulis cerita.
Negara tidak hanya hidup di dalam istana. Ia hidup di ruang keluarga, di sekolah, di jalan, di warung, di pikiran, dan di hati kita masing-masing.
Mari kita jaga bangunan sebagai tempat berdiamnya ingatan.
Kita rawat tulisan sebagai cara mencatat jiwa dan kita hayati budaya sebagai laku mencintai kehidupan.