Kenapa kita tidak boleh memakan daging hewan yang mati karena dicekik, dipukul, ditanduk, jatuh, atau diterkam binatang buas? Jawabannya tidak hanya ada di ranah etika, tetapi juga sains dan kesehatan.
Secara medis dan biologis, hewan yang mati dengan cara tidak wajar mengalami stres fisik dan penderitaan ekstrem. Saat tercekik atau dipukul, tubuh hewan akan melepaskan hormon stres dalam jumlah besar, seperti adrenalin dan kortisol, sebagai respons panik. Hormon-hormon ini menyebar ke seluruh jaringan otot, mengubah komposisi kimia dagingnya. Akibatnya, daging tersebut bisa menjadi lebih keras, kering, dan memiliki rasa yang kurang enak.
Selain itu, kematian yang tidak melalui proses penyembelihan yang benar dapat menyebabkan darah tidak keluar sepenuhnya dari tubuh hewan. Darah adalah media ideal untuk pertumbuhan bakteri. Ketika terperangkap di dalam jaringan daging, darah yang stagnan akan menjadi tempat berkembang biak bagi mikroorganisme berbahaya, termasuk bakteri patogen. Hal ini meningkatkan risiko kontaminasi dan membuat daging tidak aman untuk dikonsumsi, berpotensi menyebabkan penyakit.
Proses penyembelihan yang terstandar, seperti yang diajarkan dalam banyak tradisi, bertujuan untuk meminimalkan penderitaan hewan dan memastikan darah keluar secara maksimal. Dengan cara ini, daging yang dihasilkan menjadi lebih higienis, lebih lembut, dan aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, larangan memakan daging dari hewan yang mati tidak wajar bukan sekadar aturan, melainkan sebuah prinsip yang melindungi kesehatan manusia dan menghargai kehidupan hewan. Ini adalah panduan bijak yang menggabungkan aspek moral, kesehatan, dan kualitas pangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI