Siapa yang tidak mengenal Abdurrahman Wahid atau sosok yang akrab disapa Gus Dur? Rasa-rasanya setiap orang akan mengenal Gus Dur dalam banyak peran. Ia adalah seorang budayawan, seniman, cendekiawan, kiai, santri, jurnalis, humoris, pembela minoritas, guru bangsa, sampai kepada pengamat sepakbola. Ada lagi? Tentu saja tidak lengkap rasanya bila kita tidak menyebut beliau sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4.
Gus Dur memang bagaikan seorang tokoh dengan beragam peran. Sosok yang pernah memimpin Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia selama 15 tahun sejak 1984 hingga 1999 dikenal sebagai tokoh pembaharu yang kaya akan gagasan segar. Gus Dur adalah aktor intelektual dibalik keputusan Muktamar NU ke-27 pada tahun 1984 di Situbondo yang menarik gerbong NU untuk kembali kepada khittah, meninggalkan politik praktis dan fokus pada pemberdayaan umat yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan pelayanan sosial lainnya. Melalui gerakan khittah ini pula NU menerima asas tunggal Pancasila.
Gus Dur memang cermin dengan beragam wajah. Sebagai budayawan, pria yang lahir di Jombang tersebut pernah menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan bahkan anggota dewan juri sebuah festival film. Hal inilah yang menyebabkan beberapa Kiai pada tahun 1984 tidak setuju Gus Dur dicalonkan sebagai ketua PBNU sebelum mundur terlebih dahulu sebagai ketua DKJ. Alasannya, masa Ketua PBNU ngurusi ketoprak?
Sebagai Jurnalis, beberapa pemikirannya ia tuangkan dalam bentuk tulisan yang mewarnai berbagai surat kabar terkemuka di Indonesia. Kiprahnya di dalam negeri dimulai ketika Gus Dur menulis Opini di harian nasional Kompas dengan judul Pesantren dalam Kesusastraan Indonesia, yang dimuat pada 26 November 1973. Gus Dur menyayangkan mengenai kondisi pesantren yang belum memperoleh perhatian besar sebagai objek sastra.
Sebagai Jurnalis, Gus Dur bertutur kata dengan cerdas, cerdik, dan kocak. Tulisannya kerap mengangkat persoalan-persoalan yang menggerakan perhatian banyak orang. Gus Dur selalu membahas current issue yang aktual diperbincangkan. Tulisan-tulisannya merupakan pergulatan pemikiran Gus Dur mengenai persoalan-persoalan masyarakat yang dirasakannya.
Gus Dur memang dikenal dekat dengan Kantor Berita Tempo. Gus Dur menulis sebanyak 105 tulisan untuk Majalah Tempo pada kurun waktu 1975-1992. Saking sering dan produktifnya Gus Dur menulis, Pemred Tempo ketika itu sampai menyediakan meja khusus untuk Gus Dur. Namun demikian tulisan-tulisan Gus Dur juga banyak mewarnai di beberapa surat kabar nasional lainnya.
Sebagai humoris, sepertinya Gus Dur lah ketua PBNU yang paling humoris tiada tanding. Humor-humor Gus Dur yang intelek tidak hanya lucu, namun juga seringkali sarkatis, dan mengandung banyak pembelajaran. Salah satu tulisannya yang legendaris adalah Kata Pengantar yang Gus Dur berikan untuk sebuah buku berjudul Mati Ketawa Ala Rusia, yang berisi kumpulan 200 lelucon Rusia. Kata pengantar yang panjangnya tujuh halaman tersebut, konon ditulis Gus Dur hanya dalam tempo satu jam saja pada awal tahun 1986.
Tengok juga humor Gus Dur yang tak lekang oleh waktu ketika berkata bahwa "Polisi yang baik itu cuma tiga. Pak Hugeng Kapolri, patung polisi dan polisi tidur." Atau bagaimana kita ingat kelakar Gus Dur tentang Kiai, Pendeta, dan Pastor yang belum di izinkan malaikat untuk masuk surga, sementara mereka melihat seorang sopir bus langsung nyelenong masuk kedalam surga dengan mudah. Ketika para pemimpin agama tersebut protes, malaikat langsung berkata "Setiap kalian berkhotbah di masjid atau gereja, umatmu ketiduran. Namun ketika sopir bus tersebut mulai memegang kemudi, semua penumpang serentak ingat kepada Tuhannya."
Kapasitasnya sebagai pengamat sepakbola tidak perlu diragukan lagi. Tulisannya di harian Kompas, 18 Desember 2000 berjudul Catenaccio Hanyalah Alat Belaka mencerminkan pengetahuan Gus Dur tentang strategi dan istilah kekinian dalam sepak bola modern. Bahkan terdapat sebuah buku yang diterbitkan oleh Imtiyaz dengan judul Gus Dur dan Sepakbola, sebagai berbagai kumpulan artikel yang ditulis Gus Dur sejak tahun 1982, saat Piala Dunia di Spanyol, hingga tahun 2000, ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden.
Ketika menjabat sebagai Presiden, Gus Dur memperkenalkan konsep kebangsaan yang nonrasial. Bagi Gus Dur, tidak ada namanya istilah pribumi dan non pribumi. Istilah tersebut merupakan sebuah kesalahan dan akibatnya komunitas Cina dinafikan dari nasionalisme Indonesia. 17 Januari 2000, Gus Dur mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, yang mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Sejak saat itulah komunitas Tionghoa bebas dari belenggu dan dapat menjalankan kebudayaannya dan merayakan kemeriahan hari rayanya secara semarak.Â
Gus Dur adalah simbol semangat persatuan dan keragaman.
Gus Dur memang tokoh beragam peran. Ia adalah seorang budayawan, seniman, cendekiawan, kiai, santri, jurnalis, humoris, pembela minoritas, guru bangsa, pengamat sepakbola, Presiden ke-4 Republik Indonesia. Ada lagi? Tentu saja kurang lengkap rasanya bila kita tidak menyebut Gus Dur sebagai Pejuang Kemanusiaan sebagaimana tersemat pada batu nisan di tempat peristirahatannya yang terakhir di Pemakaman Keluarga Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur "Disini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan".