Wisata religi kali ini aku mau ubek-ubek Kampung Arab Pekojan yang lokasinya termasuk kawasan kota tua. Di kampung ini terdapat beberapa masjid bersejarah yang ingin aku sambangi.Â
Sebagaimana biasa, aku naik commuter line ke stasiun Jakarta Kota. Janjian dengan sahabatku di depan museum Bank Mandiri yang sedang ramai karena ada acara fashion show. Berhubung ini bulan Ramadan, wisata religi adalah cara asik untuk ngabuburit.
Setelah Asar, kami berjalan melalui museum Bank Indonesia, belok kiri ke jalan Bank, melewati Kali Besar Barat. Eh, dulunya sungai ini gak lurus lho, tapi berbelok ke kanan yang kemudian menjadi gedung BGR. Sungai diluruskan untuk memudahkan kapal-kapal dagang hilir mudik.
Dari jalan Kali Besar Barat, belok kiri ke jalan Kopi. Nah pasti jarang yang tahu kalau di sebelah kanan, lahan yang ada gedung putih biru dulunya adalah masjid pertama di Batavia, Keraton Jayakarta. Namun karena musibah kebakaran, masjid itu musnah tak bersisa sehingga berdiri bangunan baru.Â
Di sisi kanan dan kiri jalan Kopi, terdapat jalan Tiang Bendera. Ini adalah kawasan Pecinan pertama di Batavia sebelum pindah ke Glodok.
Nama jalan Tiang Bendera merujuk pada masa penjajahan VOC, di mana ketika warga keturunan harus menyetorkan pajak kepada VOC. Tiang bendera untuk mengingatkan warga bahwa sudah tiba saatnya membayar pajak.Â
Dari jalan Kopi melewati jembatan sungai Krukut yang menjadi batas Batavia dan Pekojan. Di sini ada persimpangan jalan Bandengan Selatan. Jembatan menjadi penanda batas Jakarta Barat dan Jakarta Utara.Â
PekojanÂ
Kami belok ke jalan Bandengan Selatan. Sebelum JPO, di sebelah kiri adalah masjid Kampung Baru yang dibangun sekitar tahun 1743. Bangunan utama masjid ini, di bagian tengah yang berupa kayu-kayu masih asli dan dirawat dengan hati-hati.Â
Begitu pula dengan bagian depan, tempat imam masjid, masih mempertahankan bentuk aslinya. Ini bisa dilihat dari luar. Pembaharuan hanya terdapat di teras dan samping masjid untuk toilet dan bedug.Â
Setelah salat di sini, kami melanjutkan perjalanan, belok kiri ke jalan Masjid Pekojan. Perlu diketahui, kampung Arab Pekojan ini dahulu dihuni oleh saudagar saudagar Arab yang datang dari Yaman. Inilah adalah area pemukiman yang diperbolehkan oleh VOC. Jadi mereka yang mendirikan masjid-masjid di sini.Â
Menyusuri jalan masjid Pekojan, kami melewati jalan Pejagalan yang dini masa penjajahan Belanda menjadi tempat jagal hewan. Setelah 500 meter, belok ke kiri ke gang masjid Pekojan 1 gang 3.Â
Di pojokan adalah masjid Ar Raudoh yang berdiri pada tahun 1887. Namun penduduk setempat menganggap masjid ini adalah musala karena tidak begitu besar.
Ornamen di masjid ini juga masih asli dengan jendela kuno dari kayu-kayu. Ruangan salat juga tidak berubah, seperti zaman dahulu. Di sini terdapat sumur yang tidak pernah kering dan agak dikeramatkan.Â
Kemudian perjalanan berlanjut, setelah ujung gang belok kanan. Masih terdapat beberapa bangunan asli. Sayangnya bangunan tersebut terlantar, tidak terawat, banyak yang sudah rapuh dan halamannya dipenuhi semak belukar.Â
Lalu kami tiba di jalan raya Pekojan, belok kiri. Di sudut jalan ini adalah rumah kapiten Arab yang bersebelahan dengan masjid An Nawier. Meskipun dari depan masjid ini tampak megah seperti bangunan baru, tetapi sebetulnya di dalamnya adalah masjid kuno yang didirikan tahun 1760.Â
Selama di kampung Arab ini, jangan heran melihat kambing dalam kandang-kandang sempit di pinggir jalan. Mereka senang beternak kambing meskipun dengan lahan yang terbatas.Â
Destinasi terakhir, karena sudah mendekati magrib, adalah Masjid Langgar Tinggi yang dibangun di tepi sungai Angke pada tahun 1829. Masjid ini dimaksudkan untuk para musafir yang turun dari kapal-kapal niaga. Karena itu bagian bawah digunakan untuk penginapan dan bagian atas untuk salat.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI