Pertama kali magang sebagai wartawan adalah di sebuah media cetak yang berkantor di jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur. Koran harian yang merupakan satu grup dengan Suara Pembaruan. Saya masih kuliah semester enam.
Saya magang di sini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama karena harian Suara Pembaruan selalu ada di kampus, jadi sudah sangat familiar. Ada "harga mahasiswa" untuk koran ini. Tulisan saya beberapa kali dimuat di koran ini.
Kedua, lokasi kantornya tidak begitu jauh. Dari kampus di Lenteng Agung ke jalan Dewi Sartika dua kali naik kendaraan umum. Waktu itu belum macet parah seperti sekarang. Ketiga, saya butuh uang untuk biaya kuliah agar tidak menjadi beban orangtua.
Bulan-bulan pertama saya berusaha menyesuaikan diri dan beradaptasi. Bos, saya (redaktur pelaksana), mantan wartawan Kompas terkenal, Albert Kuhon. Ia sangat keras dan disiplin dalam mendidik wartawan baru. Saya banyak belajar dari dia.
Redaktur lain tidak menjadi masalah, rerata mereka ramah. Pokoknya, kalau saya menyerahkan tugas, mereka menerima dengan baik. Kalau ada kesalahan diberitahukan dengan baik pula.Â
Namun yang sering membuat kesal adalah wartawan senior. Dia menindas saya demi keuntungannya sendiri. Ironinya dia tidak pernah menunjukkan perasaan bersalah ataupun minta maaf.
Wartawan senior ini laki-laki, usianya beberapa tahun di atas saya. Dia memiliki kelengkapan sebagai wartawan, kamera dan motor. Ada juga inventaris dari kantor yang sering dipinjamkan. Dia mendominasi peralatan inventaris itu.
Celakanya, saya menjadi wartawan dalam bidang yang sama dengan dia, yaitu bidang olahraga. Redaktur pelaksana menempatkan saya di situ karena saya merangkap atlet karate. Bidang yang cukup mudah untuk dipelajari.
Seringkali redaktur pelaksana menugaskan saya untuk meliput sebuah event olahraga beladiri. Nah, si wartawan senior ini tahu-tahu datang ikut meliput, padahal setahu saya bidang olahraga yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya bukan itu.
Tahu apa yang dilakukan si senior? Dia mengincar amplop berisi uang pengganti transpor yang disediakan panitia untuk wartawan. Setelah itu dia melenggang dan melempar pandangan sinis kepada saya.
Teman wartawan yang biasa meliput dengan saya sampai mengatakan begini," Lho, kok seenaknya mengambil jatah orang lain. Seharusnya kamu jangan mengalah."