"Seorang terpelajar harus belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan"
Yaa kalimat itulah, penggalan percakapan antara Minke dan Jean Marais dalam novel karya legendaris anak dunia yang pernah ada, bernama Pramoedya Ananta Toer, dan juga ada tergambarkan dengan baik dalam film dengan judul yang sama dengan novelnya "Bumi Manusia".
Persis kalimat itu jugalah yang tidak pernah saya lupakan sejak membaca novel itu pertama kali, lebih kurang dua puluh tahun yang lalu, dan sudah saya baca berulang kali, terakhir saya membacanya barengan dengan putri sulung saya Futy, empat tahun yang lalu, saat dia duduk di kelas 1 SMA, yang mana Futy anak saya juga terkesan, terkesima dan berkaca kaca matanya setelah membaca novel itu.
Dia menjadi penasaran dengan sosok Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies. Terkesima dengan latar cerita yang penuh dengan deru kereta kuda, terpaku dengan situasi zaman anak pribumi di peradaban yang masih lugu dengan ilmu pengetahuan, geram dan kesal dengan situasi era kolonial dengan tindak tanduk berbagai polah manusia dengan segudang sketsa peradabannya, yang sarat dengan intrik, konflik, kemunafikan, feodalisme, perbudakan, penjajahan, dendam kesumat, kebodohan, dan perilaku bar-barian terkutuk lainnya, ditengah mendewakan era modernisme.
Syahdan, di sisi lain alur cerita diolah oleh Pak Pram dengan apiknya, berkulindan dalam balutan nilai-nilai universal kemanusiaan, nan sarat dengan pesan moral dan nilai-nilai luhur humanisme melintas batas, jarak dan waktu, yang tergambar indah dalam bahasa yang seolah kita berada di dalamnya untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, kebahagiaan, keberanian, rasa kasih, arti cinta dan nilai-nilai abadi keagungan lainnya selaku manusia di muka bumi yang diberi akal dan budi.
Novel ini bukan lagi milik bangsa Indonesia, pribumi, ras Jawa ataupun Londo. Novel ini milik anak seluruh bangsa dunia, seluruh umat manusia di muka bumi. Membaca novel ini, walau bersetting di zaman kolonial dan di tanah Jawa, namun Pak Pram tidak terjebak dalam unsur subjektivitas kepicikan apakah itu ideologi, demografi, rasial, kultural, spiritual, maupun isme lainnya.
Novel ini menerabas luruh dalam sekat-sekat dan kelas-kelas semu kemanusiaan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dalam mengangkat eksistensi keegoan individualismenya, menciptakan segmentasi dan diskrimasi kemanusiaan demi memperjuangkan nafsu keserakahan hidup di muka bumi.Â
Novel ini juga tidaklah semata mengungkapkan tentang kejahatan para penjajah, dan terbelenggu dalam nasionalisme sempit, ini adalah tentang kemanusiaan, karena juga ada diceritakan dengan seimbang, orang-orang Eropa (Belanda) yang memiliki simpati dan nurani terhadap daerah jajahannya seperti; Herbert de la Croix, Asisten Residen Kota Bojonegoro, adalah orang Eropa totok, namun tidak berwatak kolonial. Ia justru merasa iba melihat Hindia Belanda dan Jawa khususnya yang sudah demikian dalam kejatuhannya. Ia menaruh perhatian besar pada pribumi terpelajar dan berharap kaum ini bisa menjadi perintis untuk kemajuan bangsa Hindia Belanda.
Diangkat ke Layar Lebar
Sejak adanya berita novel ini akan diangkat kelayar lebar, oleh anak bangsa pribumi sendiri, saya sangat gembira disamping ada rasa was-was, sebagai informasi tambahan, novel ini sejak lama sudah banyak penulis, sineas dan sutradara asing yang ingin mengangkatnya ke layar lebar, karena memang novel ini sudah diterjemahkan dalam puluhan bahasa asing, dan sang penulis beserta karyanya menjadi topik diskusi dan perbincangan di altar-altar kampus, pojok-pojok sastra, beranda politik dan ruang publik maupun di jalan-jalan pergerakan.