Di sinilah dasar reasoning untuk ‘mematikan’ Ahok sejak awal pertandingan. Ibarat menepuk lalat, sekali tepuk dua tiga lalat dapat tergenjet. Dengan isu ‘penistaan’ agama, Ahok digiring secara perlahan tapi pasti untuk memasuki kotak. Setelah masuk, ada alasan konstitusional untuk mendiskualifikasi Ahok dari arena pertandingan.
Meski cara tersebut terkesan vulgar tidak menjadi sebuah soal yang berarti, yang penting target dan tujuan utama berada dalam genggaman. Mengenyampingkan dan menempatkan etika politik pada nomor kesekian menjadi hal yang lumrah, tidak menjadi sesuatu yang tabuh untuk dilanggar. Â
Dengan begitu, berimaginasi mengharapkan Ahok mundur dari kancah pertarungan, sama dengan mengharapkan kontestasi Pilkada DKI tanpa riak-riak yang menggembirakan sekaligus menggemaskan. Tidak ada lagi hiruk pikuk yang membuat gaduh mencermati sepak terjang Ahok dalam politik mainstream. Semuanya serba tunggal, tidak ada lagi warna-warni yang menghiasi pemandangan dan panorama politik negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa ini.
Bahwa dalam sebuah kompetisi kalah dan menang adalah sebuah keniscayaan. Tapi mengharapkan kemenangan tanpa harus mengucurkan keringat, tanpa berjuang secara optimal dengan kepercayaan diri adalah ibarat meminum air laut. Sebanyak apapun air laut diminum tidak akan menghilangkan dahaga. Kepuasaan yang diraih hanya akan dirasakan sesaat, karena akan muncul keinginan-keinginan berikutnya harus pula dipenuhi.
Maka jangan sekali-kali para pasangan calon (paslon) dari tiga paslon yang ada sampai berimajinasi liar, dengan mengharapkan kondisi kemenangan secara walk-out (WO). Karena kemenangan WO tanpa bertanding dan mengeluarkan keringat (mungkin juga keringat dingin sekalipun) tidak akan memberikan makna apa-apa. Di sana tidak ada tantangan, sebuah kondisi yang ‘memaksa’ seseorang harus mengeluarkan semua kemampuan dan potensi secara optimal. Jika kondisi itu yang diharapkan, ‘aura’ seorang pemimpin sebagaimana diharapkan konstituennya tidak akan terlihat dan nampak keluar. Ia hanya dikenang sebagai putra mahkota yang ketiban pulung, ketimbang seorang hero yang mendapatkan kebanggaannya secara heroik penuh elegan.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 13112016
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H