Suatu pagi di kelas IV SD, guru menemukan meja belajar penuh dengan coretan spidol permanen. Kata-kata kasar, gambar-gambar tidak pantas dan menuliskan nama teman dengan ejekan . Setelah diselidiki, ternyata pelakunya salah satu siswa yang ada dikelas tersebut, siswa yang selama ini dikenal pendiam dan jarang berinteraksi dengan teman-temannya.
Ketika dipanggil dan ditanya baik-baik, ia malah menangis, Ia merasa sering disindir dan dikucilkan oleh teman sekelasnya. Karena tidak tahu harus bicara kepada siapa, lalu memilih mengekspresikan rasa kesalnya lewat coretan. Ia mengaku tidak bermaksud merusak, tapi ingin orang tahu bahwa ia juga "ada" di kelas itu.
Permasalahan ini membuat guru dan sekolah tahu bahwa kenakalan anak bukan selalu soal aturan yang dilanggar, tetapi juga tentang suara yang tidak terdengar.
Guru BK bisa melakukan konseling individual untuk membantu siswa mengungkapkan perasaannya dengan cara yang sehat. Selain itu, guru BK juga bisa memfasilitasi mediasi dengan teman-temannya untuk menyelesaikan konflik sosial yang tidak terlihat.Â
Jika sekolah belum mempunyai guru BK, maka peran tersebut dapat diganti oleh guru kelas. Guru kelas perlu menciptakan ruang komunikasi yang terbuka dengan siswa yaitu dengan melakukan pendekatan personal, dan aktif mengamati perubahan perilaku. Guru bisa mengajak siswa tersebut untuk bicara secara privat, mendengarkan tanpa menghakimi, serta membantu mencari solusi sosial untuk mengatasi permasalahan siswa. Guru juga bisa melibatkan wali kelas atau kepala sekolah untuk membuat strategi kelas yang lebih inklusif, seperti membuat peraturan kelas bersama atau aktivitas yang melibatkan semua siswa secara setara.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI