Slow living, dikata Steve Taylor, Ph.D psikolog senior dari Universitas Leeds Beckett digambarkan melalui metafora seorang yang berkendara mobil di tengah kemacetan panjang dan lama yang menimbulkan stress atau frustasi. Ia mengubah cara berkendara dengan bersepeda walau lebih slow (lambat) tadi waktu baginya rasa lebih menikmati karena lebih lama menghadapi realitas. Dengan bersepeda ia lebih menghayati pemandangan rumah-rumah tua, pohon-pohon tua, langit, awan dan ruang  antara bumi dan langit, yang mana view ini tidak dihayati saat berkendara dengan mobil di tengah kemacetan.
Menurut penelitian 2013, kelompok orang yang menjalani meditasi merasakan berkurangnya stress di banding kelompok kontrol. Penelitian di tahun 2014 menyimpulkan kelompok yang menjalani meditasi merasakan waktu rasa lebih lambat berjalan pada seminggu atau sebulan terakhir.
Dalam pandangan saya slow living tidak jauh berbeda dengan refreshing karena sama dalam hal tujuannya yaitu hidup lebih berkualitas, berkurangnya stress dan frustasi. Bedanya slow living lebih menjadi keseharian yang menjalaninya sedangkan refreshing lebih menjadi kegiatan pada jadwal jeda suatu kesibukan.Â
Dalam suatu komunitas pengajian kami 15 orang yang terdiri dari 2 kelompok membuat agenda bersama (ada 2 orang berhalangan hadir) pada hari Rabu kemarin 25 Desember 2024, menjalani program refreshing ke Danau Pauh, kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin setelah kesibukan aktivitas-aktivitas sosial seperti berbagi sembako, senam sehat, jalan sehat, program rekrutmen anggota dan lainnya. Slow living maupun refreshing merupakan seni menikmati hidup. Kita tidak menilai rumah kita neraka sehingga mencari kualitas hidup di kota untuk slow living maupun refreshing. Kita tidak menilai anak sumber kerepotan dan keletihan, istri sumber stress, ekonomi sumber kecemasan.
Sebenarnya tinggal di negara berketuhanan yang maha esa alias Indonesia ini konsep slow living, seni membuat hidup lebih berkualitas adalah melaksanakan ibadah menurut agama masing masing seperti dalam agama Kristen setiap hari Minggu ada ibadahnya, atau dalam agama Islam lima kali sehari ada jeda sesibuk apapun penganutnya mendirikan sholat 5 waktu. Semua itu dilaksanakan secara berjamaah sehingga bukan membawa konsep individualistis. Jadi dalam slow living, jika kita malah menjadi egois, semakin tidak peduli dengan kesedihan, atau derita orang lain, atau malah semakin eksklusif, atau bahkan paranoid, maka perlu ditanya ada apa dengan slow living-nya.
Dersik angin tak kenal siang dan malam dirasa dingin di kulit. Dingin yang menusuk kulit ini adalah suhu Jangkat  mencapai 17-29 derajat celcius yang hadir segera saat saya membuka pintu mobil yang parkir di depan Homestay yang berlatar belakang Danau Pauh.
Berdiri di lantai 2 homestay itu dengan terpaan angin dan kelembabannya mengingatkan kembali saya pada memori camping di pelosok Kotamadya Sungai Penuh (berbatas Kerinci) beberapa bulan yg lalu dan camping di Kaki Gunung Masurai tahun 2023 yang lalu. Momen ini untuk menerima kekurangan diri, pun orang lain yang menjadi teman perjuangan dalam komunitas. Lebih mengenal diri yang banyak canda, yang banyak serius, yang baperan, yang lelet, yang gercep, yang terampil memasak, yang cinta istri dan anak-anak dan keluarga juga tetangga. Kekurangan masing-masing, perlahan akan ada perbaikan karena model pembinaan yang ini melalui keteladanan dan sering pertemuan. Momen ini juga sekaligus menyatukan diri ke dalam komunitas inklusif agar saling terikat dan ingat visi komunitas, berjuang terus, dalam suka-duka.
Kisah Perjalanan dari Bangko - Jangkat
Kami sudah memesan potong seekor kambing muda berdaging lembut dipotong di Desa Bedeng Rejo, dan sudah terima bersih daging mentahnya dan teman lain di Lembah Masurai memasak sebagian dagingnya, kambing tulang rica-rica yang sangat lezat rempahnya. Kami berangkat mulai jam 09.00 wib dari Bangko kemudian tiba di Homestay San'a Danau Pauh Kecamatan Jangkat (Kab. Merangin, Jambi) sekitar jam 14.00 wib. Setelah merapikan barang dikamar kami langsung menyiapkan alat bahan untuk memasak sate dan stik daging kambing juga bakwan. Bawang merah, bawang putih, merica, kecap manis, garam, penyedap rasa, daun bawang serta cabe rawit kami olah bersama. Tidak ada komandan dan prajurit, tidak ada jarak di antara kami, secara spontan semua bergerak saling membantu. Ada yang mencari kayu bakar untuk menambah bahan bakar arang, mencuci besi drum alat panggang, mencuci daging, memotong daging, menusuk daging (sate), mencelup daging tusuk ke dalam bumbu cair sate, mengupas bawang merah dan bawang putih  menggiling bawang merah putih (untuk bakwan), membuat cacapan sate, dan ada yang membeli bahan yang kurang.
Penuh Candaan
Candaan kawan beberapa kali menyebut, "Ha  keluar sifat aslinya!" Candaan yang lain "Kalau pas kajian ngantuk, pas main PES semangat, emang lah!" Disahut, "Weh.. mulai nyerang. Saya kalau ada cela,  nyerang lah! " Disahut yang lain "Pertahanan terbaik tu nyerang"!
Ketika mampir di warung mie ayam. Kawan nyeletuk sambil menunggu 15 mangkuk mie ayam yang tidak mungkin siap sedia sekali waktu, sekali sedia 5 dahulu dan menyusul selanjutnya. "Gak papa duluan aja!"
"Aa.. gak enak la!" seru Sutan. "Betul , gak papa." jawab Gunawan. "Segan pula rasanya," kata Sutan. "Gak papa lanjutlah, ini soalan perasaan dan gak perasaan." kawab Gunawan. Tawa teman-teman bersahutan.
Candaan lain, "mereka ni  mancing  ribut aja!" seru Ependi. Kami ni di luar tampak ribut, di dalam (kelompok), kami libur ribut lagi!"  jawab Udin. Teman-teman tertawa.
Pemandangan Pagi
Pagi hari kamis, di lantai 2 kami makan menu mie rebus dengan topping potongan daging kambing panggang kemarin sore. Begitu nikmatnya sambil melihat gunung Masurai menjulang tinggi. Fenomena pagi itu baru saya lihat awan membentuk cincin pipih di puncak gunungnya. Sebagian pada pagi itu mengunjungi Danau Pauh sekaligus menikmati pemandangan dengan naik Boat menyeberang ke Danau.
Perjalanan Pulang
Dalam perjalanan pulang dari Homestay San'a di Desa Danau Pauh Kec. Jangkat ke Bangko yang dimulai jam 10.00 Wib Kamis. 26 Desember 2024, kami melihat di samping kiri kanan perjalanan ada tanaman semak, kulit manis, cabe, stroberi, kentang, ubi jalar, nanas masurai, jeruk, kopi, kebun karet, juga tanaman sawit yang masih kecil. Pada singgahan pertama kami di kebun Jeruk Kefrok Aku Suka. Harganya 15.000/kg, namun jika memetik sendiri harganya 20.000/kg. Di sini saya ketemu hal baru, ketemu botol-botol bergantungan di ranting pohon jeruk, kata Bude Siti Aisyah pemilik kebun itu, botol-botol ini untuk menangkap hama lalat buah karena sudah dilumuri lem lalat. Ternyata kenikmatan tetap ada tantangannya. Manis dan indahnya kebun jeruk ditantang dengan serangan hama lalat buah.
Bu Aisyah bertanya, "mana ni ibu-ibunya?" Dijawab dengan canda oleh temn saya, "Kami ni lagi bujang kalau di luar rumah. Kalau di dalam rumah gak tahu kapan bisa keluar lagi." Jawaban itu membuat kami tertawa.
Singkat kisahnya, saya membeli 2 kg jeruk Kefrok manis sebagai oleh-oleh untuk istri dan anak setelah mencicipi 2 buah jeruk. Di kebun ini per orang boleh cicip 2 buah jeruknya. Uniknya jika tidak membeli maka bayar 10.000 rupiah sebagai jasa pemandangan indah dan sarana untuk selfie, foto-foto berlatar kebun jeruk.
Persinggahan kami yang kedua masih di Desa Renah Alai yaitu toko yang menjual Ubi Kelembu panggang yang rasanya madu, manis, dan bertekstur lembut. Di persinggahan ketiga kami di Desa Kelukup Kec Lembah Masurai yaitu di kebun nanas. Persinggahan kami yang ke-4 adalah Masjid di Desa Muara Siau, kami menjamak shalat Zuhur dan Ashar di masjid ini. Persinggahan kami yang ke-5 di Desa Sekancing, di sini baru ada signal Handphone nomor Tri saya. Di sini kami makan siang dan melepas penat perjalanan . Akhirnya kami kembali sampai ke Bangko setelah melewati desa Bedeng Rejo, Pulau Rengas dan Kungkai
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI