Mohon tunggu...
Tri Wibowo BS
Tri Wibowo BS Mohon Tunggu... -

Editor, penerjemah, tukang ketik, mampir cengengesan | urip sawang sinawang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perempuan Yang Datang Senja Hari

4 Januari 2011   18:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dia adalah yang terbuang, mengetuk pintuku
...  sekedar lepas lelah dan bersembunyi, untuk berlari lagi

~ Iwan Fals

Dia datang tepat saat tetes gerimis pertama memercik di rerumputan, tempias ke dinding pagar kusam rumah. Seulas senyum akrab dan salam yang hangat. Lalu segelas kopi pekat, percakapan, dan sorot mata yang memendam duka: kisah perih pun itu mengalir dengan datar, sesekali diiringi tawa yang dingin ::

Perempuan, yang datang pada senja hari itu, hanya ingin pulang. Tetapi ia tak tahu ke mana mesti pulang. Ia hanya melihat sunyi di jalan menuju rumahnya, di halaman rumah, pada pintu yang terbuka, pada ruang keluarga; dan merasa begitu asing meski berada di tengah orang-orang yang semestinya tak asing baginya. Mendadak ia sadar sesungguhnya telah lama ia tak pernah benar-benar memiliki rumah, bagi jiwanya.

Sejak kecil ia telah berjarak dengan segala hal yang seharusnya menjadi tempat ia beristirah saat jiwanya membutuhkannya. Karenanya, ia terus berusaha untuk menemukan kembali rumahnya, dengan caranya sendiri. Tetapi seolah nasib baik tak juga berpihak. Ketika ia pada akhirnya kembali pulang, ia justru kehilangan rumah. Ia hanya menemukan bangunan, yang menyimpan kenangan pahit masa-masa kecilnya. Ia hanya bertemu debu dan pepohonan, yang membangkitkan kenangannya tentang tempatnya berteduh di masa kanak-kanaknya, jauh dari kehangatan yang semestinya dialami oleh anak-anak seusianya.  Ia merindukan kehangatan yang terenggut di masa kecilnya. Ia terus mencari, dan ketika tiba saatnya ia harus mengalami cinta, yang dijumpainya adalah cinta yang begitu sengit.

Rasanya hidup telah mendidiknya untuk menjadi sedikit keras. Ia tak ingin tampak lemah. Ia sembunyikan semua lukanya dengan banyak bercanda dan tertawa. Hidup telah mengajarinya untuk menghargai air mata, meski tetesnya tak jua bisa menghanyutkan pedih hatinya, setidaknya ia bisa menutupnya dari pandangan orang. Tetapi luka itu akhirnya menyusup keluar, menggenang dalam percakapan kami malam itu.

air putih aku hidangkan, aku di persimpangan
aku hitung semua lukanya, seribu, bahkan lebih, sejuta, lebih...

Pada akhirnya hidup harus dilanjutkan. Aku mengantarnya pulang. Perempuan, yang datang ke rumahku pada senja hari itu, masih sempat melambaikan tangannya dengan ceria sambil tersenyum, sebelum akhirnya menghilang dari pandangan. Tetapi aku tahu ia tak pulang, sebab ia masih mencari rumahnya yang hilang, tanpa tahu pasti ke mana ia harus mencarinya.  Namun aku tahu, ia masih percaya, bahwa hidup selalu punya kejutan di setiap tarikan nafasnya. Seusai perpisahan dengannya itu, istriku berkata, ia masih bisa bertahan, sebab ada banyak kisah yang belum selesai ditulisnya ::

aku terharu, doaku untukmu, engkau sahabatku, tetap sahabatku ..

Lereng Merapi, 30/12/10

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun