Mohon tunggu...
Tri Wibowo BS
Tri Wibowo BS Mohon Tunggu... -

Editor, penerjemah, tukang ketik, mampir cengengesan | urip sawang sinawang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

World Writers #372: H. B. Jassin

4 November 2012   22:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:58 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

H.B. Jassin(1917 – 2000)Penerjemah dan kritikus sastra, salah seorang tokoh besar kesusastraan Indonesia yang gigih dalam mendokumentasikan karya-karya sastra Indonesia. Seluruh koleksi dokumentasi sastranya kemudian disimpan di Pusat Dokumentasi Sastra di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Menurut penyair Sapardi Djoko Damono, “Pak Jassin lebih mencintai karya-karya kita daripada kita sendiri,” dan lewat kritik sastra dan ulasannyalah banyak sastrawan terbaik di Indonesia “ditahbiskan.” Oleh karena itu dia dijuluki sebagai “Paus Sastra Indonesia” – sebuah julukan yang pada mulanya untuk bercanda tetapi lalu melekat erat pada dirinya.

Saya amat yakin bahwa dunia imajinasi dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Dan hingga kini, saya tetap percaya bahwa imajinasi tak layak diadili dan disetarakan dengan dalil agama yang punya sejarahnya sendiri -- Jassin

Hans (atau Hamzah) Bague Jassin lahir pada 31 Juli 1917 di Gorontalo, Sulawesi Utara, putra dari pasangan Bague Mantu Jassin dan Habibah Jau. Ayah Jassin adalah seorang pegawai yang berpikiran maju dan memiliki koleksi buku-buku yang cukup banyak. Lewat perpustakaan pribadi ayahnya inilah Jassin muda mulai menyukai dunia membaca. Jassin mula-mula mendapat pendidikan di HIS Gorontalo, tetapi pindah ke HIS Balikpapan, Kalimantan Timur. Pada 1932 Jassin meneruskan pendidikannya ke HBS B-5 di Medan, Sumatra Utara dan pada 1939 Jassin meraih gelar diploma. Setelah kemerdekaan ia meneruskan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan meraih gelar pada 1957. Pada 1958-1959 dia mengikuti studi Ilmu Perbandingan Kesusastraan di Universitas Yale, Amerika Serikat. Pada 1975 Jassin menerima gelar Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia.

H.B. Jassin mulai terjun di dunia sastra pada 1940 ketika ia diajak oleh sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana untuk bekerja di Balai Pustaka. Jassin kemudian berkenalan dengan sejumlah sastrawan ternama pada masa itu, seperti Armijn Pane (yang mempengaruhi dirinya), Sanusi Pane dan sebagainya. Jassin muda sempat terpengaruh oleh gagasan Nietzsche, dan karenanya Jassin berontak dan mengikuti aliran kebebasan. Setelah gagalnya hubungan Jassin dengan Tine de Brum, seorang janda keturunan indo yang sempat tinggal serumah dengannya, pada 1946 Jassin bertemu dengan Arsiti dari Bogor yang kemudian disuntingnya. Dari perkawinannya ini Jassin dikaruniai dua anak, Hanhibal dan Mastinah. Arsiti meninggal pada 1962. Jassin kemudian menikah dengan Julico dan dikaruniai dua orang anak.

Pada Periode 1947 – 1966 Jassin menjadi redaktur berbagai terbitan dalam negeri, antara lain Mimbar Indonesia, Zenit, Kisah, Bahasa dan Budaya, Sastra, Seni, Buku Kita, dan Medan Ilmu Pengetahuan. Sejak 1966 Jassin menjadi redaksi majalah sastra Horison. Pada 1961 dia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Sastra UI dan pada 1955-1973 menjadi pegawai Lembaga Bahasa Nasional yang sekarang bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

H.B. Jassin pernah membela Chairil Anwar yang dituduh plagiator dan juga membela Hamka yang novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh menjiplak karya sastrawan al-Manfaluthi. HB Jassin dipecat dari jabatannya di Fakultas Sastra UI dan dari Lembaga Bahasa Nasional karena ikut menandatangani “Manifes Kebudayaan” (1963) yang menentang gerakan Lekra yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. HB Jassin diajukan ke pengadilan pada 1970 karena memuat cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin dalam majalah Sastra yang dipimpinnya. Cerpen ini dituduh melecehkan atau menghina salah satu agama di Indonesia. Selain itu, selama 15 tahun di sisa hidupnya H.B.Jassin menerjemahkan Al-Qur’an dalam bentuk puisi, yang diberi judul Bacaan Mulia (1978) – terjemahan berbentuk puisi ini sempat menimbulkan kontroversi.

Penghargaan yang pernah diterimanya antara lain Satyalencana Kebudayaan dari Presiden RI (1969), Hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fond (1973), Hadiah Seni dari Pemerintah RI (1983), Hadiah Magsaysay (1987) dan Bintang Mahaputra Nararya dari Pemerintah RI (1994). H.B.Jassin meningga pada 11 Maret 2000 di Jakarta. H.B Jassin adalah anggota Akademi Jakarta (!970-2000) dan Ketua Yayasan Dokumentasi Sastra H.B.Jassin (1976-2000).

Karya-karyanya antara lain Gema Tanah Air (1948); Tifa Penyair dan Daerahnya (1952); Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I-IV (1954, 1957, 1985); Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (ed., 1956); Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (ed., 1962); Heboh Sastra 1968 (1970); Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983); Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983); Surat-surat 1943-1983 (1984); Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993); Koran dan Sastra Indonesia (1994); Darah Laut: Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997); Omong-omong H.B. Jassin (Perjalanan ke Amerika 1958-1959) (1997); dan lain-lain. Selain itu Jassin juga banyak menerjemahkan karya sastra, antara lain Chusingura karya Sakae Shioya(1945); Terbang Malam, karya St-Exupery (1949); Max Havelaar, karya Multatuli (1972); Percakapan Erasmus karya Desiderius Erasmus (1985); dan sebagainya.

Di masa tuanya ia masih bersemangat, seperti ditulisnya sendiri: "Jika kau tengok lemari-lemari itu, yang penuh dengan kumpulan map-map tebal yang sudah mulai dikumpulkan sejak 45 tahun lalu, kau bisa lihat dokumentasi kehidupan sastra Indonesia. Impian saya — meski tak seliar mimpi para seniman — ialah

mendirikan dokumentasi sastra dunia. Bertingkat-tingkat. Sastra Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Amerika Latin. Ya, semuanya. Jadi jika kita memasuki gedung itu, kita seperti memasuki dunianya sastra dunia. Dan itu saya usahakan di hari-hari saya yang tua ini. Meski sekarang pendengaran saya sudah semakin berkurang, hingga pernah menyerang rasa percaya diri, saya masih tetap memiliki keinginan yang kuat untuk membina sastra Indonesia. Saya masih berjalan kaki pulang-pergi dari rumah ke TIM, untuk bekerja bagi sastra dan seni. Saya berjalan dan berjalan sambil menghafal ayat Al Quran. Mungkin kematian sama dengan gugurnya daun dari pohonnya. Kematian adalah sesuatu yang alami dan tak perlu disedihkan. Tapi, saya tak mau memikirkannya. Karena itu, setelah lelah berjalan saya hanya beristirahat sebentar. Lalu berjalan lagi, membuka buku-buku itu lagi. Dan, bait-bait sajak Chairil itu terus nyala dalam diri." mungkin ia mengingat sajak chairil anwar yang ini:

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun